Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
CHANDRAMAYA
SETIAP KALI ia mendapat cuti dari tempat bekerjanya, ia selalu menggunakan waktu itu untuk pergi konsultasi ke psikiater. Tapi, beberapa temannya menyarankan untuk pergi menemui konselor terlebih dahulu yang berada di Denpasar. Ibad adalah seorang Debt Collector yang berperawakan bersahaja. Namun begitu, bekas luka bakar yang mengakibatkan alisnya gundul itu menandakan bahwa ia telah banyak mengalami hal-hal yang tak mengenakan. Sementara kulitnya yang putih membuat kelihatan bibirnya pucat.
Sudah berkali-kali kejadian tak mengenakan dialaminya. Mungkin karena pekerjaannya sebagai Debt Collector. Kadang ia habis dipukuli oleh sekelompok orang tak dikenal. Kadang hidupnya dibuat tak tenang dengan teror yang dialami keluarganya. Namun, apa boleh buat. Hanya melalui pekerjaan ini ia dapat menghidupi keluarga kecilnya.
Siang hari yang panjang ia lewati dengan menunggu kendaraan umum yang siap mengangkutnya. Entah mengapa belakangan ini angkutan umum sering penuh. Jadi ia menunggu hampir selama 30 menitan. Setelah naik angkutan umum yang cukup kosong, ia akhirnya dapat duduk. Lokasi tak jauh dari tempat ia menyetop angkutan umum itu. Langit mendung, perasaan di hatinya mulai merambat jiwanya lagi. Setelah sekitar 30 menit kemudian, ia sampai di lokasi. Tempat yang disarankan oleh teman-temannya. Memang tak mudah menghadapi permasalahan kejiwaan tanpa bantuan orang lain.
Di ruang tunggu, ia berpapasan dengan anak gadis yang asik duduk di sampingya. Seisi ruangan hanya mereka berdua dan beberapa resepsionis yang mengisi mejanya.
"Mohon ditunggu, Pak." Ucap resepsionis ketika melihat Ibad sampai di depan mejanya untuk mengajukan pertanyaan. Akhirnya ia mengalah dan kembali menarik kursi di sebelah gadis yang masih asyik duduk itu. Hening merasuki telinganya. Ibad mengulurkan tangannya.
"Saya Ibad." Gadis itu balas mengulurkan tangannya.
"Nidya."
"Pukul berapa konselor itu akan tiba?" tanyanya.
"Kurang lebih 5 menit lagi, Pak." Selepas mereka berdua menunggu selama hampir 15 menitan, baru nama mereka dipanggil menghadap sekaligus.
Konselor itu seorang wanita cukup umur. Ia sepertinya telah hampir memakan setengah hidupnya untuk membantu banyak orang yang membutuhkan bantuannya. Mungkin karena pekerjaannya sebagai Konselor mengakibatkan kulitnya cepat mengendur dan keriput. Mungkin saja sebetulnya seumuran dengannya.
"Silakan," wanita itu menunjuk dua kursi yang telah disediakan menghadap meja kerjanya. "Bapak Ibad, saya sempat mendapat pesan dari beberapa klien saya kalau bapak membutuhkan bantuan saya."
"Oh, ya, betul, Bu," jawab Ibad malu-malu.
"Saya akan menulis rujukan ke beberapa tempat terapis yang tepat untuk bapak. Supaya hidup bapak tenang dan aman."
"Oh, baik, Bu. Terima kasih!" Ibad sumringah.
Bagi Ibad, terkadang dari suara yang keluar dari bibir wanita itu yang tebal terdengar datar seolah tak menghiraukan keluhan kliennya. Seperti main-main. Toh, semua keluhan klien selalu sama, mungkin begitu yang ada di pikirannya. Nama Chandaramaya yang terpampang di atas meja menarik perhatian Ibad.
"Silakan, berikutnya." Perintah wanita itu.
"Terima kasih, Bu Chandramaya." Ucap Ibad sambil menarik mundur kursinya.
"Panggil saya Maya saja," potong wanita itu. "Ada apa? Boleh langsung ceritakan keluhannya." Kepada gadis di sebelah Ibad.
Gadis yang duduk di samping Ibad memperkenalkan namanya. Gadis itu mengatakan bahwa sejak kecil ia telah bercita-cita menjadi pembalap. Namun, karena kecelakaan berat yang menimpanya beberapa minggu yang lalu membuatnya kesulitan untuk mengambil keputusan. Dia sebenarnya anak yang menyenangkan. Bibir yang dibalut lipstik berwarna biru cerah walau di dahinya berbalut perban berwarna putih menutupi alisnya. Kulitnya tidak seperti anak gadis seumurannya, saat menjabat tangan terasa lebih tebal walau dagunya berbentuk kecil. Mungkin karena sering menekuni dunia balap.
"Lebih baik berhenti ikuti ajang balapan," kata wanita yang acuh tak acuh kepada klien di depannya itu.
"Berhenti?" sergah Nidya lirih, "tinggal selangkah lagi saya masuk ke kejuaraan nasional, bu. Bagaimana harus berhenti?"
"Ya, saya yakin akan hal itu. Dengan begitu, masalah yang menimpa kepada Nak Adik tidak semakin memburuk."
Gadis itu menarik kursinya ke belakang. Merasa tidak yakin akan keputusannya.
"Tapi..."
Ucapannya itu begitu mengharukan bagi Ibad. Sebelum menjadi Debt Collector, ia sempat memiliki cita-cita yang sampai hari ini tidak kesampaian karena terhalangi oleh jalan takdir. Ibad terkenang kembali saat ia masih duduk di bangku sekolah yang mengatakan bahwa dirinya akan menjadi seorang Dokter suatu kelak. Sebuah cita-cita yang mulia. Tapi, semakin bertambahnya usia rupanya jalan lain menuntunnya.
Hal itu rupanya dirasakan pula dengan kejadian yang sedang menimpa anak gadis di sebelahnya ini. Gadis yang kukuh ikut balapan dan meraih cita-citanya mengikuti ajang kejuaraan nasional.
Keputusan buruk yang disarankan rupanya menghantui gadis itu. Nidya mengungkapkan alasannya bahwa dirinya sangat kecewa dengan kondisinya sekarang ini pasca kecelakaan. Nidya turut pula mengalami banyak tekanan dari lingkungannya. Karena tidak tahu harus berbuat apa-apa akhirnya ia memutuskan untuk menemui seorang konselor dan sampailah ia sekarang berhadapan dengan wanita cukup umur itu.
Namun, selang beberapa menit setelah wanita yang ada di depannya itu menulis surat rujukan, kami berdua terpaku melihat tubuh mungil gadis itu terkulai tak berdaya menubruk lantai. Tubuhnya sama sekali tak bergerak. Riak oksigen semakin mengecil dan padam. Kami segera menelpon ambulan.[*]
September, 2023