Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sebuah pot kecil berisi kaktus hias menjadi saksi betapa membeku tubuh Leony pagi itu. Kedua matanya membelalak dengan kepala menengadah. Ia terpaku menatap sahabatnya yang berada di atap sebuah hotel tujuh lantai di pusat kota Jakarta.
Di atas sana, Kira yang mengenakan kemeja merah muda terlihat seperti bunga azalea yang siap menyambut pagi. Namun, bukannya terus merekah, bunga itu perlahan menutup semua kelopak sebelum melepas pegangan akarnya. Ia memilih untuk berubah menjadi elang yang menukik turun melawan embusan angin. Elang itu tidak kunjung membuka sayap meski posisinya semakin dekat ke daratan.
Tubuh Kira menghantam kaca depan sebuah mobil yang tengah terparkir. Alarm mobil itu meraung, membelah kesunyian. Orang-orang yang kebetulan berada di sana sempat tertegun sebelum berteriak heboh, sebagian di antaranya langsung menghubungi pihak berwajib. Leony sendiri tidak melakukan apa-apa. Telinganya yang berdenging membuatnya tidak mendengar apa pun selain suara yang menggema di kepalanya.
“Leony, tolong aku.” Suara Kira yang memohon kepadanya melalui panggilan telepon tempo hari terus terngiang. “Bisakah kamu menginap di tempatku malam ini? Aku tidak ingin sendirian.”
Saat itu, Leony yang sedang sibuk mengurus bisnisnya sendiri hanya bisa menghibur Kira seadanya. Dengan tega ia menyudahi panggilan tanpa memberi kepastian kapan mereka bisa bersua. Ia pikir sahabatnya itu hanya sedang bersikap berlebihan karena kelelahan.
Sayangnya, Leony tidak bisa berhenti memikirkan Kira, sehingga ia memutuskan ikut mengantar tanaman-tanaman sewaan yang dipesan hotel tempat Kira bekerja. Dengan begitu, ia bisa menyempatkan diri untuk bertemu dan membawakan tanaman hias kesukaan sang sahabat. Tidak pernah ia menyangka bahwa pada akhirnya ia justru menyaksikan saat-saat terakhir Kira.
Leony jatuh terduduk dengan jantung berdetak kencang. Kaktus kecil yang terlepas dari tangannya tergeletak begitu saja dengan pot yang pecah. Tanah berhamburan di mana-mana. Ia menatap kondisi kaktus itu yang menyerupai kondisi mengenaskan Kira. Rasa mual memaksanya membekap mulut erat-erat.
Tiba-tiba seseorang mengusap kepalanya lembut. “Tidak apa-apa, semuanya sudah berlalu. Bangunlah.”
Kedua mata Leony sontak terbuka dan melihat ke sekeliling dengan panik. Seorang pemuda menatapnya sendu. “Mimpi buruk lagi?” tanya pemuda itu sambil menyalakan lampu ruangan.
“Alan.” Leony mengernyit saat tenggorokannya terasa perih. Tampaknya ia sempat berteriak dalam tidurnya. “Kamu belum pulang?”
“Mana mungkin aku meninggalkanmu sendiri setelah kamu lagi-lagi pingsan di kantor,” jawab Alan frustrasi. “Tidak bisakah kamu kurangi sedikit saja kegiatanmu? Aku mulai merasa kalau beberapa bulan ini kamu sengaja mencari-cari kesibukan agar tidak mengingat ….”
Pria itu segera menyudahi ucapannya. Hampir saja ia kelepasan membicarakan topik terlarang. Leony mengabaikannya dan justru melirik jam di dinding.
“Besok kamu harus menemui perajin pot terakota menggantikanku,” ujar gadis itu. “Perjalanan dari Jakarta ke Yogyakarta cukup jauh, kamu tidak boleh begadang malam ini.”
“Tapi—“
“Para pegawai di kantor akan kehilangan arah kalau kita berdua absen,” keluh Leony sambil kembali berbaring di atas ranjang rumah sakit. “Kontrak kita dengan perajin itu juga bernilai sangat besar, aku tidak bisa memercayakannya kepada orang lain.”
Alan tampak ingin kembali menyanggah, tetapi Leony bersikeras mengusirnya. Alhasil, meski enggan, pemuda itu akhirnya pergi.
Dalam sepi, Leony mencoba tidur kembali. Sayangnya, perdebatan singkatnya dengan Alan tadi telah mengusir semua rasa kantuk, apalagi lampu masih menyala terang di atas kepalanya. Akhirnya, ia mengambil laptop yang ada di atas meja, berniat untuk mengisi waktu luang dengan bekerja.
Pegangan Leony yang lemah membuat laptop itu berakhir jatuh ke atas lantai. Suaranya membuat gadis itu tersentak. Tangisnya sontak pecah, ia merasa frustrasi karena semua yang dilakukan selalu berakhir buruk.
Sesungguhnya, di saat seperti ini, Leony tidak ingin sendiri. Harus ia akui, ia sempat merasa lega dengan kehadiran Alan, tetapi ia juga merasa takut. Semakin lama, ia semakin tidak mengenali diri sendiri. Bahkan pekerjaannya yang tercinta kini terasa tidak lebih dari sebuah beban yang terlalu besar untuk ditanggung gadis payah sepertinya. Namun, pekerjaan itu adalah satu-satunya hal yang dapat mengalihkan pikirannya dari awan kelabu yang bersarang di dadanya.
Di hari Kira terjun dari atap, Leony merasa telah jatuh bersamanya. Ia terperosok ke dalam lubang dengan dinding yang terlalu tajam untuk dipanjat. Dinding itu membuatnya terasing dari dunia yang ia kenal, dari hal-hal yang ia cintai. Leony ingin berteriak meminta bantuan, tetapi enggan menjadi beban.
Dari sudut ruangan terdengar seseorang membuka pintu. Leony segera menyudahi tangisannya sebelum menoleh ke sumber suara. “Kenapa lagi, Lan? Ada yang ketinggalan?”
Di sana, Alan berdiri sambil memegang pot kecil berisi kaktus hias. Sontak Leony menelan ludah lalu memaksakan senyum. “Untuk apa kamu bawa itu? Aku sudah mencoret tanaman itu dari daftar produk.”
“Kenapa? Bukankah tanaman ini banyak digemari?”
Wajah Leony memucat. Kelebatan ingatan terakhirnya tentang Kira kembali menerjangnya dengan kekuatan penuh. Dengan putus asa ia menarik rambutnya sendiri untuk mengurangi sakit yang tiba-tiba menyerang kepalanya.
“Leony, ada yang mau kamu ceritakan kepadaku?” tanya Alan sambil mendekat. Ia tidak tega melakukan ini, tetapi tidak ada cara lain. Leony tidak akan pernah memperlihatkan luka hatinya jika tidak terpaksa.
“A-Alan, aku ….” Ucapan Leony terputus. Ia kembali menangis sejadi-jadinya setelah menerima benda lain yang ternyata juga Alan bawa. Sebuah surat dengan nama Kira tertulis di bagian bawah. Leony tidak pernah benar-benar membaca surat yang diserahkan pihak keluarga Kira kepadanya itu. Ia merasa tidak pantas.
“Kira tidak pernah menyalahkanmu.” Alan berbicara sambil menyingkirkan kaktus yang ia bawa ke bawah ranjang. “Kamu tidak bisa terus menderita seperti ini, Leony.”
“Dia sempat meminta tolong kepadaku,” jawab Leony akhirnya. “Dia pergi karena aku mengabaikannya!”
Alan menunjuk surat Kira. “Maaf, aku diam-diam membacanya. Jelas tertulis kalau dia lelah karena tuntutan pekerjaan. Dia juga berpesan kepadamu untuk tidak berakhir sepertinya. Jadi, bagaimana bisa kamu justru bolak-balik dirawat di rumah sakit karena sengaja menyibukkan diri?”
Leony menutup wajahnya rapat-rapat sambil menggelengkan kepala. Tubuhnya yang oleng segera Alan tangkap dalam pelukan. Alan mengusap pundaknya pelan sebelum berbisik, “Besok, aku akan menemanimu membuat janji pertemuan dengan psikolog. Jangan khawatir, aku akan terus berada di sampingmu apa pun yang terjadi.”
Kehabisan tenaga untuk melawan, Leony akhirnya mengangguk. Ia sama sekali tidak yakin apakah terapi akan membuat dirinya bisa sepenuhnya lepas dari trauma dan rasa bersalah, tetapi mungkin ia bisa memercayai janji kekasihnya. Diam-diam ia menanti hari di mana ia mampu mengumpulkan kekuatan untuk keluar dari lubang keterpurukan dengan kemampuannya sendiri dan mengenang Kira dengan senyuman.
***