Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sore itu, hujan turun dengan perlahan, membasahi jalanan kota yang sibuk. Basyir duduk di bangku dekat jendela kafe kecil yang selalu ia kunjungi di setiap akhir pekan. Biasanya, ia datang untuk menikmati secangkir kopi sambil membaca buku. Tapi hari ini, ada sesuatu yang berbeda. Seseorang yang sudah lama ia kenal hanya lewat layar televisi kini berada di dalam kafe itu—Kathrina, seorang idol yang sudah lama mengisi dunia remaja banyak orang, termasuk dirinya.
Basyir menatapnya dari kejauhan, mencoba tidak terlalu mencolok. Kathrina duduk di pojok kafe, mengenakan hoodie sederhana dan kacamata hitam. Bahkan tanpa penampilan glamornya yang biasa, ia tetap terlihat seperti bintang. Hanya saja kali ini, dia tampak sedikit lelah, berbeda dari biasanya.
Basyir merasa tidak percaya dengan dirinya sendiri. Bagaimana bisa? Gadis yang sering ia lihat di layar kaca, yang selalu tampil sempurna di atas panggung, kini duduk di depannya, begitu dekat, begitu nyata.
Pikirannya kacau. Ia hampir tidak berani beranjak dari tempat duduknya. Tapi entah kenapa, hatinya mendesak. Seperti ada sesuatu yang mendorongnya untuk berjalan mendekat.
Dengan langkah perlahan, Basyir berjalan menuju meja Kathrina. Dia ingin menatapnya lebih dekat, ingin mendengarnya berbicara. Mungkin itu gila, mungkin juga bodoh, tetapi rasa penasaran mengalahkan segala hal.
"Permisi," kata Basyir pelan, suara gugupnya hampir tak terdengar.
Kathrina menoleh, dan Basyir merasa seolah dunia berhenti berputar sejenak. Senyuman tipis yang muncul di wajah Kathrina membuat jantungnya berdetak lebih cepat. "Kamu... Basyir, kan? Yang tidak pernah absen dari sesi Video Call denganku." Tanya Kathrina dengan suara lembut. Ada kehangatan dalam nada bicaranya, meskipun Basyir bisa merasakan kesenduan di balik itu.
"Iya, saya Basyir," jawabnya terbata, merasa seolah seluruh tubuhnya menjadi kaku. "Apa... apa kamu sedang menunggu seseorang?"
Kathrina tertawa kecil. "Tidak, hanya sendiri. Sepertinya aku memang perlu menyendiri sesekali." Matanya menatap ke luar jendela, memandang hujan yang semakin deras. Ada keheningan antara mereka yang menggelayut. Basyir merasa canggung, tetapi anehnya, itu bukan keheningan yang tak menyenangkan.
"Kenapa?" tanya Basyir, tidak bisa menahan rasa ingin tahunya. "Kenapa kamu merasa harus menyendiri?"
Kathrina menundukkan kepalanya, menarik napas panjang. "Kadang, menjadi seperti yang orang harapkan itu melelahkan. Aku ingin beristirahat dari semua itu. Tapi..." ia berhenti sejenak, seolah mencari kata-kata yang tepat, "tapi aku takut jika orang-orang tahu aku juga hanya manusia biasa. Takut mereka kecewa."
Basyir mendengarkan dengan seksama. Ada sesuatu yang menyentuh hatinya. Kathrina yang selama ini dia lihat sebagai sosok yang sempurna, ternyata juga memiliki keraguan, ketakutan yang sama seperti kebanyakan orang. Bahkan seorang idol pun bisa merasa cemas dan lelah.
"Kamu tidak perlu takut," jawab Basyir dengan lembut, merasa kata-katanya muncul begitu saja. "Kita semua punya bagian dari diri kita yang mungkin tidak ingin orang lain lihat, tapi itu tidak membuat kita kurang berharga."
Kathrina menatapnya, matanya yang biasanya penuh dengan kilau sekarang terlihat lebih dalam, lebih jujur. "Mungkin kamu benar," katanya pelan, "tapi terkadang, aku merasa seperti ada bagian dari diriku yang hilang. Aku lupa siapa aku sebenarnya di luar panggung."
Basyir merasa sebuah kekosongan di dalam dirinya, seperti ada rasa yang mendalam yang ingin ia ungkapkan. "Kita tidak pernah benar-benar kehilangan diri kita, Kathrina," ucapnya, "karena sejauh apapun kita mencoba lari dari kenyataan, kita tetap membawa diri kita sendiri. Tidak ada yang bisa mencuri itu."
Ada keheningan lagi di antara mereka, bukan karena canggung, tetapi karena mereka berdua sedang merenung. Sesekali, suara hujan terdengar lebih keras, seolah ikut merasakan kedalaman percakapan itu.
"Aku tidak tahu apa yang aku harapkan dari percakapan ini," kata Kathrina akhirnya, dengan suara yang lebih lembut. "Aku rasa, kadang-kadang aku hanya butuh orang yang mau mendengarkan, tanpa memandangku sebagai seseorang yang harus sempurna."
Basyir merasa seperti ada sesuatu yang menahan dadanya. "Kamu sudah sempurna, Kathrina, hanya dengan menjadi dirimu sendiri. Tidak ada yang lebih indah dari itu."
Dia tidak tahu dari mana kata-kata itu muncul, tetapi saat Kathrina menatapnya dengan mata yang sedikit basah, Basyir tahu bahwa ini adalah saat yang penting. Bukan karena dia bertemu idolanya, tetapi karena mereka berdua berbicara tentang hal yang sangat manusiawi—tentang rasa cemas, keraguan, dan pencarian jati diri.
Hujan akhirnya berhenti. Lampu-lampu jalan mulai menyala, menciptakan pantulan cahaya yang indah di permukaan air yang masih tergenang. Kathrina berdiri, siap untuk pergi. Basyir ingin mengatakan sesuatu lagi, tetapi dia hanya tersenyum, seolah sudah cukup dengan percakapan mereka.
"Terima kasih, Basyir," kata Kathrina, sebelum melangkah pergi, "terima kasih sudah membuatku merasa seperti diri sendiri lagi."
Basyir hanya bisa mengangguk, merasa seolah dunia berhenti sejenak. Mungkin mereka tak akan bertemu lagi. Mungkin Kathrina akan kembali ke dunia yang jauh dari jangkauannya. Namun, ada satu hal yang akan selalu Basyir ingat—bahwa di balik kemegahan dan sorotan, kita semua hanya manusia biasa yang membutuhkan ruang untuk merasa.