Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Wanita cantik berkacamata hitam itu masuk, lalu duduk di pojok kafe. Di tempat yang sama, yang selalu ia pilih.
Memesan minuman kesukaannya, Cafè latte, lalu setelahnya ia tenggelam dalam diam.
Tiga hari ini, Diaz mengamati perempuan itu dari balik bar kafe, di samping mesin kopi. Datang tepat pukul dua siang, duduk diam sekitar satu jam, kemudian berlalu pergi, meninggalkan jejak lipstik di gelas yang tampak seperti tanda misteri yang disengaja.
"Ada apa Diaz dengan perempuan itu?" Dani, sesama waiter tiba-tiba sudah berdiri dibelakangnya.
Diaz tersentak. "Enggak kok, aku cuma penasaran saja. Dia selalu di sana, diam. Seolah-olah dia sedang menunggu sesuatu atau seseorang, tapi tidak pernah ada yang datang."
Dani tersenyum, menggoda Diaz. "Mungkin dia menunggu kamu?."
Diaz menggeleng, sedikit tersipu. "Nggak mungkin. Lagipula siapa aku. Bisa jadi dia mahasiswi, pekerja kantoran, atau bahkan... selebritis yang sedang sembunyi dari sorotan."
Dani mengangkat alisnya. "Atau mungkin dia punya rahasia besar yang coba disembunyikan di balik rutinitas ini."
Diaz tak bisa lepas dari pikirannya tentang perempuan misterius tersebut.
Ia tak pernah berbicara dengan siapa pun, dan tak pernah memperhatikan sekelilingnya. Seperti punya dunianya sendiri yang tak bisa disentuh oleh orang lain.
***
Keesokan harinya, perempuan itu datang lagi, kali ini mengenakan mantel abu-abu dan kacamata hitam yang sama. Ia duduk di kursi pojok yang biasa, lalu memesan Cafè latte tanpa melihat menu.
“Seperti biasa?” Diaz mencoba membuka percakapan saat mengantarkan pesanannya.
Wanita itu mengangguk singkat, sedikit tersenyum namun tetap tidak membuka kacamata hitamnya. Dalam keheningan itu, Diaz menangkap sebuah tatapan yang menyiratkan kesedihan mendalam.
Setelah satu jam berlalu, perempuan itu pergi seperti biasa, meninggalkan gelas dengan bekas lipstiknya yang samar.
"Aku yakin dia punya alasan khusus kenapa selalu datang di jam yang sama dan duduk di sana," kata Diaz, hampir berbisik kepada Dani.
"Apa kamu yakin bukan cuma sekadar kebiasaan aja? Orang-orang sering punya kebiasaan aneh, apalagi kalau mereka senang sendirian."
"Tapi kenapa selalu Cafè latte? Dan kenapa selalu meninggalkan bekas lipstik? Seperti tanda atau pesan."
***
Malam ketika kafe hampir tutup, perempuan itu datang lagi. Kali ini, Diaz menyapanya dengan lebih terbuka.
“Maaf, boleh saya bertanya?” katanya lembut.
Perempuan itu menatap Diaz dari balik kacamata hitamnya. Ada keheningan sejenak sebelum ia menjawab, “Tentu.”
“Kenapa Anda selalu datang ke sini di jam yang sama? Apa ada alasan khusus?”
Wanita itu tersenyum tipis, lalu membuka kacamatanya perlahan. Mata cokelat gelapnya menunjukkan kelembutan yang bercampur kelelahan.
“Aku hanya... menemukan kedamaian di sini,” katanya pelan.
“Di sini?” Diaz mengulang dengan nada takjub.
Perempuan itu mengangguk. “Di tempat ini, aku bisa mengingat seseorang yang... dulu sering duduk di kursi ini. Kami punya kenangan indah di sini, tepat di sudut ini. Dia selalu duduk di sini dan memesan Cafè latte, sama sepertiku.”
Diaz terdiam. “Oh, maaf… aku tidak tahu.”
“Tidak apa-apa,” jawab perempuan itu, menundukkan wajahnya. “Aku kehilangan dia dua tahun yang lalu. Dia pergi begitu mendadak, dan sejak saat itu aku merasa... kosong. Rasanya aneh, tapi aku merasa seolah bisa menghubungkannya kembali hanya dengan datang ke sini, minum Cafè latte, dan duduk di tempat yang sama. Rutinitas ini adalah caraku merawat ingatan tentangnya.”
Diaz tak menduga rutinitas sederhana itu menyimpan cerita yang mendalam.
Malam itu, setelah kafe tutup, Diaz merenung, menyadari bahwa apa yang terlihat di permukaan sering kali hanya sebagian kecil dari apa yang sebenarnya tersembunyi di baliknya.
Perempuan itu tidak sedang menunggu atau menyembunyikan sesuatu, dia sedang mengenang seseorang yang telah pergi.
Hari berikutnya, ketika perempuan itu datang lagi, Diaz membuatkan Cafè latte khusus. Kali ini, dia menghias gelasnya dengan sedikit lukisan hati kecil dari bubuk cokelat di atas busa susu.
Saat Diaz mengantarkan minuman itu, perempuan itu menatap gelasnya, dan sebuah senyum lembut.
“Terima kasih,” katanya, menatap Diaz dengan mata yang lebih hangat. “Aku belum pernah menerima Cafè latte yang begitu manis.”
“Untuk seseorang yang spesial di hati Anda,” jawab Diaz, tersenyum.
Sejak hari itu, rutinitas itu berubah menjadi sesuatu yang lebih berarti bagi Diaz. Setiap kali perempuan itu datang, Diaz memastikan ada sentuhan kecil yang akan membuatnya merasa lebih hangat, walau mungkin hanya sementara.
Dan bagi perempuan itu, setiap senyuman kecil dari Diaz dan setiap minuman hangat yang disajikan dengan perhatian, seolah menjadi pengingat bahwa ia tidak sendiri.