Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Wanita cantik berkacamata hitam itu masuk, lalu duduk di pojok kafe, tempat yang selalu ia pilih tanpa pengecualian. Setelah memesan minuman kesukaannya, Caffè latte. Ia tenggelam dalam diam, sesekali menyeruput dari gelas kaca yang segera berbekas lipstik merah di bibir gelas.
Seperti biasa, Diaz mengamati perempuan itu dari balik bar kafe, berdiri di samping mesin kopi. Tiga hari ini, perempuan itu datang tepat pukul dua siang, duduk diam sekitar satu jam, kemudian berlalu pergi, meninggalkan jejak lipstik di gelas yang tampak seperti tanda misteri yang disengaja.
"Diaz, kamu kenapa sih memperhatikan dia terus?" tanya Dani, rekan sesama waiter di kafe itu.
Diaz tersentak. "Enggak kok, cuma penasaran aja. Dia selalu di sana, diam. Seolah-olah dia sedang menunggu sesuatu atau seseorang, tapi tidak pernah ada yang datang."
Dani tersenyum, menggoda Diaz. "Mungkin dia sedang mengharapkan kamu datang menyapanya."
Diaz menggeleng, sedikit tersipu. "Nggak mungkin. Lagipula, aku nggak tahu dia siapa. Bisa jadi dia mahasiswi, atau pekerja kantoran, atau bahkan... selebritis yang sedang menghindari sorotan."
Dani mengangkat alisnya. "Atau mungkin dia punya rahasia besar yang coba disembunyikan di balik rutinitas ini."
Sore itu, Diaz tak bisa lepas dari pikiran tentang perempuan misterius tersebut. Ia tak pernah berbicara dengan siapa pun, dan tidak pernah memperhatikan sekelilingnya. Seperti punya dunianya sendiri yang tidak bisa disentuh oleh orang lain.
Keesokan harinya, perempuan itu datang lagi, kali ini mengenakan mantel abu-abu dan kacamata hitam yang sama. Ia duduk di kursi pojok yang biasa, lalu memesan Caffè latte tanpa melihat menu.
“Seperti biasa?” Diaz mencoba membuka percakapan saat mengantarkan pesanannya.
Wanita itu mengangguk singkat, sedikit tersenyum namun tetap tidak membuka kacamata hitamnya. Dalam keheningan itu, Diaz menangkap sebuah tatapan yang menyiratkan kesedihan mendalam. Tatapan yang memantulkan beban yang ia simpan di balik kacamata gelap itu.
Setelah satu jam berlalu, perempuan itu pergi seperti biasa, meninggalkan gelas dengan bekas lipstiknya yang samar.
Keesokan harinya, Diaz dan Dani berdebat kecil tentang perempuan itu.
"Aku yakin dia punya alasan khusus kenapa selalu datang di jam yang sama dan duduk di sana," kata Diaz, hampir berbisik.
"Apa kamu yakin bukan cuma sekadar kebiasaan aja? Orang-orang punya kebiasaan aneh, apalagi kalau mereka senang sendirian."
"Tapi kenapa selalu Caffè latte? Dan kenapa selalu meninggalkan bekas lipstik? Seperti tanda atau pesan," Diaz membantah, penuh rasa ingin tahu.
Mereka kembali bekerja, tapi pikiran Diaz terus tertuju pada perempuan itu. Dia memutuskan bahwa malam itu, dia akan menunggu sampai kafe sepi dan mencoba mengamati lebih jauh.
Ketika kafe hampir tutup, perempuan itu datang lagi, tepat seperti yang Diaz duga. Kali ini, Diaz menyapanya dengan lebih terbuka.
“Maaf, boleh saya bertanya?” katanya lembut.
Perempuan itu menatap Diaz dari balik kacamata hitamnya. Ada keheningan sejenak sebelum ia menjawab, “Tentu.”
“Kenapa Anda selalu datang ke sini di jam yang sama? Apa ada alasan khusus?”
Wanita itu tersenyum tipis, lalu membuka kacamatanya perlahan. Mata cokelat gelapnya menunjukkan kelembutan yang bercampur kelelahan. Ia terlihat seperti seseorang yang menanggung sesuatu yang berat.
“Aku hanya... menemukan kedamaian di sini,” katanya pelan.
“Di sini?” Diaz mengulang dengan nada takjub.
Perempuan itu mengangguk. “Di tempat ini, aku bisa mengingat seseorang yang... dulu sering duduk di kursi ini. Kami punya kenangan indah di sini, tepat di sudut ini. Dia selalu duduk di sini dan memesan Caffè latte, sama sepertiku.”
Diaz terdiam. Rasa ingin tahunya ternyata membawa sebuah cerita yang tak disangka-sangka. “Oh, maaf… aku tidak tahu.”
“Tidak apa-apa,” jawab perempuan itu, menundukkan wajahnya. “Aku kehilangan dia dua tahun yang lalu. Dia pergi begitu mendadak, dan sejak saat itu aku merasa... kosong. Rasanya aneh, tapi aku merasa seolah bisa menghubungkannya kembali hanya dengan datang ke sini, minum Caffè latte, dan duduk di tempat yang sama. Rutinitas ini adalah caraku merawat ingatan tentangnya.”
Diaz terenyuh mendengar cerita tersebut. Ia tidak menduga bahwa rutinitas sederhana itu menyimpan cerita duka yang mendalam.
Malam itu, setelah kafe tutup, Diaz merenung. Dia menyadari bahwa apa yang terlihat di permukaan sering kali hanya sebagian kecil dari apa yang sebenarnya tersembunyi di baliknya.
Perempuan itu tidak sedang menunggu atau menyembunyikan sesuat, dia sedang mengenang seseorang yang telah pergi, melalui kebiasaan sederhana di pojok kafe ini.
Hari berikutnya, ketika perempuan itu datang lagi, Diaz membuatkan Caffè latte khusus. Kali ini, dia menghias gelasnya dengan sedikit lukisan hati kecil dari bubuk cokelat di atas busa susu.
Saat Diaz mengantarkan minuman itu, perempuan itu menatap gelasnya, dan sebuah senyum lembut terlukis di wajahnya.
“Terima kasih,” katanya, menatap Diaz dengan mata yang lebih hangat. “Aku belum pernah menerima Caffè latte yang begitu manis.”
“Untuk seseorang yang spesial di hati Anda,” jawab Diaz, tersenyum.
Sejak hari itu, rutinitas itu berubah menjadi sesuatu yang lebih berarti bagi Diaz. Setiap kali perempuan itu datang, Diaz memastikan ada sentuhan kecil yang akan membuatnya merasa lebih hangat, walau mungkin hanya sementara.
Dan bagi perempuan itu, setiap senyuman kecil dari Diaz dan setiap minuman hangat yang disajikan dengan perhatian, seolah menjadi pengingat bahwa ia tidak sendiri dalam dunianya.