Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Selama bulan berakhiran “ber”, hujan turun hampir sepanjang hari. Hujan deras mengguyur kawasan sekolah siang itu.
Lara yang sedang menunggu bus di halte depan sekolahnya mulai menggigil. Perasaannya campur aduk, bete dan bingung karena ia masih harus menjalankan satu tugas terakhir siang itu menjemput adiknya. Seragamnya basah meski ia sudah berusaha berlindung di bawah atap halte yang sempit.
Tak lama, Desta, cowok dari kelas sebelah datang dan berdiri di sebelahnya, sama-sama mencari perlindungan dari hujan.
“Lama banget sih hujannya,” gumam Desta sambil menggoyang-goyangkan kakinya yang berbalut sepatu putih yang sudah agak kusam.
“Iya, aku jadi telat jemput adik,” jawab Lara datar sambil menghela napas.
Desta memandangnya sejenak.
“Kamu selalu jemput adik?” Lara mengangguk.
“Iya, ibuku sibuk kerja di rumah. Jadi aku yang jemput dan antar adikku ke sekolah tiap hari.”
Obrolan mereka terhenti sejenak, hanya terdengar suara hujan yang terus turun. Lara menunduk, memikirkan ibunya yang kerja keras untuk mereka.
Menjadi anak perempuan tertua dalam keluarga dengan seorang adik kecil bukanlah hal mudah, apalagi ayahnya sudah lama pergi.
Sementara itu, Desta mengalihkan pandangannya ke jalan, mengenang keluarganya yang tak kalah rumit. Ibunya bekerja di luar negeri, dan meskipun ia di rumah bersama ayahnya, mereka jarang bisa akur.
“Ayahku sih santai aja di rumah, kerja enggak, bantu-bantu enggak, tapi tetap hidup dengan fasilitas yang ibu kasih dari jauh. Ironis banget, kan?” ujar Desta tiba-tiba, nada sinis dalam suaranya.
Lara memandang Desta, sedikit terkejut dengan keterusterangannya.
“Kenapa kamu enggak bilang langsung ke ayahmu kalau kamu enggak suka?”
Desta tersenyum tipis. “Udah sering. Tapi dia cuma bilang, ‘Kamu enggak ngerti hidup, Desta.’ Padahal, siapa yang enggak ngerti di sini?” ujar Desta dengan nada sinis sambil memoyongkan bibir meniru ayahnya.
Lara hampir tertawa, tapi ditahannya.
Hening lagi, tapi kali ini, bukan karena suasana yang canggung. Ada kesamaan dalam rasa sakit yang mereka simpan sendiri.
***
Seminggu kemudian, Lara dan Desta kembali bertemu di halte. Kali ini tanpa hujan, hanya sore yang mendung.
“Eh, aku kepikiran sesuatu setelah ketemuan kemarin” katanya, mencoba terlihat antusias.
“Apa?” tanya Lara sambil menatapnya penasaran.
“Kita bisa coba bisnis online yuk, aku lihat banyak anak SMA yang jualan online. Mungkin kita juga bisa coba, siapa tahu berguna.” Ujar Desta sambil menaik-turunkan alisnya ke arah Lara.
Lara mengerutkan kening.
“Kamu yakin? Bisnis itu enggak gampang, Des, apalagi kita cuma anak SMA.”
Desta tertawa. “Justru itu, kan. Kita harus belajar, harus mulai dari sekarang. Aku juga enggak mau terus bergantung sama ibu. Lagian, kamu juga punya alasan yang sama, kan?”
Lara terdiam, menyadari kebenaran kata-kata Desta.
“Iya sih… Apa yang mau kita jual?”
"Sesuatu yang modalnya ngak besar, tapi pasarnya bisa di sekolah” saran Desta.
Mereka berdiskusi panjang lebar dari ide sederhana, makanan ringan sampai reseller. Perdebatan kecil sesekali muncul karena ide yang berbeda, Lara merasa Desta cukup bisa diandalkan.
“Kita bisa mulai besok”, ujar Desta.
“Siap, siapa takut”. Ternyata ide itu bisa membuat mereka merasakan sesuatu yang baru—sebuah harapan.
***
Siang sepulang sekolah, dilihatnya Desta datang dengan wajah muram saat mendekati Lara di halte.
“Ada apa?” tanya Lara.
“Aku ribut lagi sama ayah,” jawab Desta pelan.
“Kenapa?”
Desta menghela napas.
“Dia bilang aku anak yang ngak tahu diuntung, cuma bisa ngerepotin. Padahal, aku cuma minta dia kerja sesuatu biar enggak terus bergantung sama ibu.”
Lara menyentuh bahunya pelan, “aku ngerti. Kadang orang tua emang enggak selalu paham apa yang kita butuhkan.”
“Iya, kayak aku ini cuma beban,” ucap Desta dengan suara serak.
“Enggak, Desta. Kamu enggak sendirian. Kita kan punya joint bisnis, paling tidak itu bisa membantu kita sendiri kan,” ujar Lara tulus.
Tiba-tiba bus datang.
***
Konflik di rumah mau tak mau terbawa-bawa juga, sesekali kompak, sesekali rasa kalut itu juga terbawa.
Konflik kecil pun mulai muncul. Desta mulai kesal saat Lara terlalu mengatur.
“Kamu pikir kamu bos di sini? Kita kan joint!” protes Desta.
Lara yang lelah setelah seharian mengurus adiknya langsung menjawab dengan nada tinggi, “Aku cuma pengen semuanya rapi! Kalau kamu enggak bisa terima, ya udah, cari aja partner lain!”
Desta terdiam, merasa tersinggung. Tapi, di balik rasa sakit hatinya, ia sadar bahwa Lara juga berjuang keras. Ia menatap Lara yang menunduk, air mata menggenang di matanya.
“Kamu bener-bener capek, ya?” ujar Desta, suaranya melunak.
Lara hanya mengangguk, terisak pelan.
“Aku enggak tahu sampai kapan aku bisa kuat, Desta. Kadang aku merasa sendiri, harus kuat buat ibu dan adikku. Aku enggak boleh gagal.”
“Kita sama-sama berjuang. Aku juga punya beban, tapi aku janji, enggak akan ninggalin kamu dalam bisnis ini.”
“Maaf, Desta. Aku terlalu keras kepala.” Ujar Lara sambil mengusap air matanya, merasa sedikit lega.
“Nggak apa-apa. Justru itu yang bikin kamu hebat.”
Waktu berlalu, dan dari hubungan itu mereka mulai belajar cara mengendalikan ego masing-masing, saling mendukung, belajar menjadi dewasa. Sesuatu yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
“Kamu tahu, sejak kita mulai ini semua, aku merasa jauh lebih baik.”
“Aku juga,” jawab Lara, tersenyum.
“Aku merasa, dengan menjalani ini semua membuatku jadi orang yang lebih kuat.”
Desta mengangguk. “kamu benar, dan kita masih di awal. Ada banyak yang bisa kita capai. Selama kita saling mendukung.”
Lara tertawa kecil. “Terima kasih, Desta untuk semuanya.”