Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku dan mama baruku berdiri di pelataran belakang ketika bapak pergi melaut. Kami biasa melakukan ini, hampir setiap pagi, dan bertahun-tahun kemudian, ketika aku kembali mengenang pagi itu, aku bisa membayangkan punggung bapak yang kokoh, yang sebagiannya tertutupi topi koboi, dan aku juga bisa mendengar suara pompongnya yang riuh. Kemudian, jarak membuat punggung bapak terlihat semakin mengecil, suara pompongnya terdengar sayup-sayup, lalu keduanya menghilang di balik pohon-pohon bakau yang menjulur ke arah tanjung.
Setelah pagi itu, aku tak pernah lagi melihat bapak. Dia mati tenggelam, seperti Firaun.
Dua bulan kemudian mama membawa bapak baru untukku. Orangnya tinggi besar dan kulitnya hitam dan bulu-bulu tangan lebat dan kasar. Kumisnya juga lebat dan kasar, dengan ujung-ujungnya menyentuh bibir atasnya yang tebal dan legam. Pertama kali melihat laki-laki ini, aku merasa ngeri. Dia mengingatkan aku pada penebok, si pemenggal kepala anak-anak. Kamal juga takut dengan bapak baruku. Karena itu, dia tak pernah lagi datang ke rumahku.
Aku tak tahu dari mana laki-laki ini datang. Namun, ketika mama berkata bahwa aku harus memanggilnya bapak, aku tahu kalau dia akan tinggal di rumah kami, tidur di tempat tidur kami. Kehadiran laki-laki ini membuat aku merasa kalau rumah kami terlalu sempit, dan asap rokoknya membuat dadaku terasa sesak. Kupikir mama perlu membuat satu kamar lagi, khusus untuk laki-laki itu tidur dan merokok, sebab aku tak ingin tidur sekamar dengannya. Tetapi, alih-alih membuatkan kamar baru, mama malah menyimpan pakain laki-laki itu di lemari pakaian kami. Pakaiannya banyak sekali. Aku harus mengeluarkan semua isi lemari untuk mencari pakaian yang kumau.
Selain kamar tidur dan ruang khusus merokok, aku harap mama juga membuat meja lain agar dia tidak makan di meja yang sama dengan kami. Bukannya aku tak ingin dia makan di rumah ini, aku hanya tak ingin dia makan di meja kami. Dia makan banyak sekali. Tangannya yang besar dan panjang bisa menggapai semua yang ada di meja. Selain itu, suapannya juga banyak, hampir setengah dari porsi makanku.
Akhirnya, karena sudah tidak tahan, aku mengatakan kalau sebaiknya mama mencari bapak baru untukku. "Yang lebih kurus, seperti bapak Kamal. Aku tidak suka orang itu."
"Kau tak boleh seperti itu, Nak," kata mama.
"Dia kuat makan, Ma."
"Itu karena badannya besar."
"Suara dengkurannya juga besar."
"Apa itu mengganggumu?"
Aku mengangguk.
"Nanti kau juga akan terbiasa."
Itu mustahil, Ma. Aku juga merasa risih mendengar suara mama mendesah hampir setiap tengah malam, dan mendapati ranjang tidur bergoyang-goyang, dengan suara derit kayunya yang menyayat, aku merasa sedang di atas pompong bapak.
"Kapan?" kata mama, dengan wajah tegang dan mata yang sedikit dibesar-besarkan.
Mama tidak tahu kalau setiap malam aku hanya pura-pura tidur sampai aku benar-benar tertidur.
"Kupikir kau sudah tidur sebelum jam sembilan, Nur," kata mama. "Kau tidak boleh seperti itu lagi."
Aku tidak bisa, Ma. Sungguh. Jadi, aku tidur di luar di sudut ruang tamu. Mula-mula mama tidak berkeberatan, tetapi lama-lama dia merasa kasihan padaku.
"Bagaimana kalau kau tidur di rumah nenek?" kata mama, ketika kami sedang makan malam.
"Itu saran yang bagus, sayang," kata bapak. "Aku rasa Nur akan lebih nyaman tidur di rumah neneknya. Bukan begitu, Nur?"
Mama tidak menjawab. Dia mengalihkan pandangan antara aku dan bapak. Lalu, setelah melihat bapak menganggukkan kepala, mama berkata, "Aku rasa juga begitu, Pa."
Menurutku, itu lebih baik. Kamal juga tidak takut dengan nenekku. Jadi, dia bisa datang kapan pun dia mau.
Besoknya, mama mengantar aku ke rumah nenek, dan saat dia pulang, aku melihat punggungnya yang ditutupi rambut lurus kekuning-kuningan. Itu terakhir kali aku melihat mama.*