Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kantor itu terletak di pinggir jalan di pinggiran kota. Bangunannya menjorok jauh ke dalam karena berhalaman luas.
Meski banyak kabar burung, bahwa gedung ini “dihuni,” Farah hanya menganggapnya sebagai cerita biasa. Apalagi ia tak percaya dengan tahyul.
Ia ditempatkan di ruangan depan yang disebut bosnya “ruangan istimewa,” tapi ternyata juga paling dekat dengan pantry yang terkesan kosong dan membuatnya tidak nyaman.
Suatu sore, saat para pegawai lain ke lapangan, Farah bekerja sendirian, mengejar deadline laporan keuangan.
Pintu pantry di belakang ruangan Rina berderit tanpa sebab. Tak ada angin, tapi suara itu terus terdengar setiap kali ia lewat. Membuatnya sedikit terganggu.
Pantry di ujung bangunan itu memang sudah lama tidak dipakai dan selalu terbuka.
Sejak kantor itu disewa, hanya pantry itu yang tidak tersentuh renovasi. “Biaya” yang menjadi alasan renovasi terbatas rupanya hanya kedok si bos, karena pantry itu memang dihindari karena mitos yang mengatakan ada “penunggu” di sana.
Bahkan, ruang tidur pegawai yang paling sering diganggu sudah lebih dulu direnovasi untuk mengurangi aura seramnya. Hanya saja setelah ruang itu ditempati, seorang staf pernah mendengar dentuman dari arah dapur, seperti ada yang berusaha keluar.
Cerita tentang sosok perempuan tanpa wajah di dekat pohon mangga yang besar di halaman pun kerap terdengar, meski Farah tidak pernah memperdulikannya.
Sore setelah menyelesaikan laporan, Farah bersiap untuk salat Ashar di ruangannya. Baru saja berdiri di atas sajadah, tiba-tiba terdengar suara dari dalam ruangannya yang sudah ia kunci rapat.
Suara perempuan berbicara pelan, seperti memimpin rapat, dan lambat laun berubah menjadi suara ramai, seolah ada diskusi panas di dalam ruangan itu.
Farah mendekatkan telinganya ke pintu untuk mendengarkan, dan saat pintu ia buka, suara itu langsung lenyap.
Tapi ketika ia kembali berdiri untuk salat, suara tersebut muncul lagi, kali ini lebih gaduh, hingga terdengar seperti teriakan.
Dengan sedikit gusar, Farah berbicara kepada “mereka” di dalam ruangan, “Tolong, jangan ribut!” Keheningan pun menyelimuti ruangan, tapi Farah sekarang seolah bisa merasakan tatapan dingin yang mengelilinginya.
Esok paginya, Farah bertanya kepada Danara, lelaki paruh baya yang tinggal di gedung sebelah bersama ibunya, Bu Aminah, bekas penjaga kantor lama yang jarang terlihat.
Meski awalnya ragu, Danara menceritakan jika ruangan yang ditempati Farah dulunya adalah milik seorang direktur yang tewas di kantor tersebut.
Pegawai lain sengaja menghindari ruangan itu, dan seorang penjaga malam sebelum mereka bahkan pernah melihat printer bekerja sendiri mencetak pesan berulang, “Jangan pergi.”
Bu Aminah, yang terlihat misterius dan pendiam, hanya menatap kosong dengan pandangan naanr saat cerita itu diceritakan, seakan tahu lebih banyak tapi menolak berbicara.
Suatu sore menjelang sandekala, anak dari tamu penjaga malam tiba-tiba menangis sambil menunjuk pohon mangga di halaman. “Ada kakak di bawah pohon itu,” katanya sambil memegangi tangan ibunya.
Ketika Farah melihat ke arah yang ditunjuk, ia mendapati sosok perempuan berwajah kosong berdiri di sana, dengan baju putih lusuh. Sosok itu diam, tapi seakan memanggil dari kejauhan.
Setelah kejadian itu, Farah meminta agar semua ruangan diberi lampu, karena setiap melintasi dapur untuk menuju garasi Farah merasa diawasi. Kegelapan di sekitar ruangan itu, bayangan dari lampu redup, membuat pintu yang berderit menjadi semakin mengganggunya.
Suatu malam, saat sedang memeriksa ruangan sebelum pulang, ia melihat pintu pantry terbuka sendiri dan dari dalamnya, sosok perempuan tanpa wajah yang sebelumnya ia lihat di bawah pohon mangga kini berdiri di dalam dapur, tersenyum, lalu ia mendengar suara berat yang berbisik, “Kau sudah terikat.”
Kejanggalan yang semakin meresahkan, membuat kantor tidak diperpanjang kontrak sewanya.
Satu per satu pegawai mulai berhenti, dan Farah yang ditelepon bosnya harus menyelesaikan pekerjaan terakhirnya sebelum resign terpaksa bekerja lembur.
Pada malam terakhir di gedung itu, saat sendirian menyiapkan kepindahan, ia mendengar suara ketukan dari dalam pantry. Suara itu diiringi tawa perempuan yang sangat pelan tapi jelas berasal dari dalam dapur.
Ketika ia hendak beranjak, telepon berdering seseorang memintanya menunggu, suaranya terdengar tidak asing, seperti suara Bu Aminah. Suara itu hanya berkata, “Jika kau pergi, akan ada yang kembali,” sebelum telepon tiba-tiba mati.
Saat melihat ruangan untuk terakhir kalinya, Farah melihat pintu pantry terbuka. Dengan perasaan cemas bercampur penasaran, ia mengintip ke dalam, dan kali ini dilihatnya ruangan dipenuhi sosok-sosok diam yang menghadapnya. Mereka semua tampak pucat, dingin, dan satu sosok wanita tua berdiri di depan, tersenyum tipis. Itu Bu Aminah, yang baru saja ia dengar di telepon.
Suara pelan berbisik di telinganya, “Kau tak akan pernah bisa pergi dari sini, Nak. Kami sudah menunggumu.”
Esok harinya, kantor itu benar-benar kosong.
Seorang petugas kebersihan kantor dari penyewa baru yang membersihkan kantor menemukan ruangan bekas Farah berantakan, printer terus mencetak kalimat berulang kali, "Selamat datang di kantor ini. Kau tak akan pernah benar-benar pergi."
Sejak saat itu Farah tak pernah terlihat lagi. Ruangan Farah kini ditempati Dinara direktur yang pernah dinyatakan tewas setahun lalu, saudara kembar Danara, anak dari Ibu Aminah.