Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sunyi, tertekan, rasa, mencari
kehangatan hilang
mengering di musim panas
seperti petir mendatangi hujan
kembalilah kepadaku
Tangan kanannya terus bergerak, lincah memangkas jarak hingga terkena cat air yang belum kering. Dia sedang memberi warna pada kanvas putih sehingga punya noda, tidak tahu pola apa yang menjadi tujuan.
Gadis itu tersenyum seperti orang gila, bersama air mata menetes dan gumam yang tersapu hawa dingin, "Bisakah kita menyalakan lentera dalam balutan kaca pecah?"
Mimpi-mimpi itu
tumbuh kian lebat
mimpi kita
seolah menenangkan
lantas kauberi senandung getir
mengguncang perasaan
Debaran jantung itu semestinya masih menyenangkan ketika terasa, tapi telah menjelma perih kala melihat hal suram yang sama. Bagaimana kita bisa berpisah begini? Gadis itu selalu bertanya atas nama warna-warna yang dia terapkan menyerupai gambar abstrak. Namun, perlahan gambar itu punya makna menyedihkan.
Air yang sejuk di bawah kaki pegunungan, matahari terik di atasnya, bersama tetes gerimis yang singgah. Sungguh irasional, tapi baginya itu cukup menggambarkan rasa.
Jalan yang sekarang asing
tanpa jejak
tanpa pijak
tanpa kamu sebagai sajak
aku berkeliaran ke sana kemari
lelah
Hujan beberapa hari tidak mau menyapa bumi, dia tahu bahwa jika hujan sampai turun berarti air-air langit begitu kejam menghukumnya, lantas mengirim kenangan masa lampau sampai ke depan mata.
Dia terus menggerakkan tangan. Kanvas ke sekian kali, ada puluhan yang tersebar memenuhi lantai dingin kamar. Menjadikan ruangan berantak tanpa berniat untuk membereskan, seolah hanya ini satu-satunya yang dapat dia lakukan untuk membalas satu hari yang terlambat.
"Maaf adalah ungkapan konyol, bukan? Buktinya aku sudah berulang kali meminta maaf, tapi kamu nggak muncul."
Terowongan lalu yang bercahaya
masih muncul bersinar
berlabuh dalam hatiku
terang, gelap
hangat, dingin
cair, beku
Lagu yang sejak tadi mengalir berhenti, itu akhirnya. Bait dari lagu itu akhirnya, tapi si gadis tidak bisa lagi membuat tangannya bergerak kala suara hujan menggantikan lagu yang sempat mengalun, mampir dalam pendengaran dan lebih menyakitkan dari mendengar lagu barusan berulang-ulang seperti saat pertama kali dia kehilangan teman bersandar.
"Hujan datang, tapi mengapa kamu enggak?" Gadis itu melepas kuas, bola matanya menatap lukisan yang telah terbuat. "Jadi kesimpulannya, aku yang harus pergi menemuimu, 'kan?"
Petir menyambar-nyambar. Lampu padam, gadis di dalam kamar meninggalkan lukisan terakhir; dua sosok yang saling menikam, di bawah deras hujan. Tetapi tidak ada raut ketakutan, dua sosok itu ... saling tersenyum semringah.
"Kita memang berada di dunia penuh kekonyolan, Randin." Wujud transparan itu menatap lemah wujud lain yang telah kaku.
Hujan masih berisik menyuarakan duka, sementara lagu dari audio di sudut kamar kembali terdengar, kendati tidak ada tangan yang ingin memutar.
Jika penantianku begitu berharga
hujan yang bersuara ....
Liriknya menghilang, seperti lukisan terakhir yang masih tertempel di penyangga kayu.
cinta yang canggung begitu cantik
hujan dan payung biru muda kaubawa
ciamik
Lukisan yang melebur, kini hanya membekas nama dari cat hitam sebelum benar-benar hirap.
Aroma Randin
"Hidung kita adalah salah satu kejaiban Tuhan. Coba pikirkan, bagaimana kalau kita nggak bisa mengisap udara, menghirup aroma, pasti rasanya hampa."
"Sama sepertimu, Aroma. Aku juga akan hampa kalau kehilangan kamu."
Dua sosok itu saling pandang, dengan binar kasih yang mengukir kisah merah jambu.
"Randin, aku berjanji kamu nggak akan kehilangan aromamu. Jika kamu sampai kehilangan Aroma, kamu berarti mesti menyusulku. Aku juga akan demikian."
Lantas Tuhan, mencatat janji itu sebagai tanda untuk menagih ikatan tak kasatmata yang mengerikan.
Sepasang insan yang saling jatuh cinta memang payah dalam hal logika.