Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Religi
SUMMON LEVEN
1
Suka
1,347
Dibaca

Cerita ini jauh dari hiruk pikuk kota, di sebuah dusun, saat hari menjelang sore.

“Drun, sudah cukup belum rumputnya?” Mamat bertanya sambil tangannya terus memotong rumput tanpa menoleh, berharap Badrun melihatnya dan memberi tanda supaya ia berhenti.

“Heh!, ditanya kok diam.” Mamat bangun dari ngarit-nya karena Badrun tak kunjung kasih jawaban. Tapi pemandangan yang dilihatnya justru membuatnya dongkol. Badrun tidur dengan nyenyak ditemani lagu campursari Ambyar—Didi Kempot yang mendayu-dayu.

“Sialan, bangun! Dasar kebo!” Mamat meradang, mengangkat tumpukan rumput dari keranjang dan menumpahkan seluruh isinya tepat di kepala Badrun.

Karuan saja Badrun panik, tapi begitu tersadar, yang pertama diingatnya justru hape.

“Mana hapenya, mana hapenya,” teriaknya panik sambil mengobok-obok tumpukan rumput seperti mencari jarum.

“Semprul! Dibantu nyari rumput malah tidur!” gerutu Mamat, sambil lalu meninggalkan Badrun yang sibuk memasukkan tumpukan rumput ke dalam keranjang.

Di Kampung Karangsari, orang ngangon—pelihara kebo—itu dibuatin kandang, makanya si pemiliknya harus cari rumput untuk pakannya. Tapi di kampung sebelah malah sebaliknya, kebo-kebo dilepasliarkan dan kebun-kebunnya malah dipagar.

Sekarang tren di kota malah ikut-ikutan orang di kampung sebelah, kebo-kebo dilepas liar, dibiarkan tanpa pengawasan cari makannya sendiri. Akibatnya ya tentu saja mengganggu kebun tetangga kanan kiri.

Di mana-mana kebo menjadi liar, kumpul di mana saja mereka mau. Di bawah pohon, di kebun tetangga, di kuburan—pokoknya di mana mereka suka, bisa duduk rehat sambil mengunyah rumput setelah sebelumnya disimpan dalam fundus, lambungnya, selama beberapa jam sebelum jadi kotoran.

Pulang cuma kalau dicari pemiliknya, dan digiring ke kandang atau ditangkap Satpol Pamong Praja yang sedang razia...

“Di kota apa banyak kebo juga ya, Mat?” Badrun mulai tanya-tanya, setelah membaca sebuah artikel di hape yang tak pernah lepas dari tangannya.

“Tumben baca, biasanya cuma nonton. Makanya baca, baca.” Mamat kesal karena ia yang tak punya hape malah ditanyain.

“Kenapa memangnya?” Mamat balik bertanya.

“Nih, di kota lagi ada tren baru KUMPUL KEBO,” ujar Badrun sambil menunjuk sebuah judul tulisan di hapenya.

“Buat apa ya kebo-kebo dikumpulin, apa untuk kurban, habis puasa Ramadan nanti?”

“Semprul! Itu mah beda!” ujar Mamat sambil terbahak.

“Apa bedanya dengan kebo-kebo kita?” Badrun tambah bingung dengan jawaban Mamat.

“Kebo di kota kakinya dua, kebo kita kakinya empat,” jawab Mamat asal, langsung to the point biar Badrun langsung jelas duduk masalahnya.

“Memang ada kebo kaki dua? Berarti pincang kakinya?” Badrun malah tambah bingung, sedangkan Mamat malah tambah jengkel tapi juga geli ketidaktahuan Badrun.

“Yang pincang itu pranata sosialnya, etikanya, moralnya—bukan kakinya, Mas Badrun.”

“Begini, Mas Badrun yang terhormat, ‘kebo’ di kota yang kakinya dua itu wujudnya ‘orang—manusia’, sedangkan ‘kebo’ di kampung kita itu ‘kewan—hewan’,” lanjut Mamat menjelaskan lebih jauh.

“Terus kalau memang ‘orang’, kenapa disebut ‘kebo’?" Badrun malah tambah bingung, pusing tujuh keliling.

“Nah itulah ya, karena sifatnya yang meniru bagaimana cara kebo hidup. Makan di mana saja, hidup lepas liar ke mana saja, tidak aturan. Mereka mungkin dilepas liar dari rumahnya oleh orang tuanya, merasa sudah punya penghasilan, pengetahuan untuk urusan cari uang untuk bertahan hidup, jadi nggak bergantung lagi sama orang lain—pokoknya bebas. Terus mereka ketemu kawan-kawannya yang lain yang bebas seperti mereka, terus kumpul, baik laki maupun perempuan kumpul. Persis si Sapa dan sapi jantan-betina punyamu.”

“Nah, kalau mereka disuruh kawin, jelas langsung mau karena nggak ada ikatan. Tapi kalau disuruh nikah seperti sunnahnya manusia, mereka jelas ogah. Mana mau mereka diikat sama aturan harus begini dan begitu, harus tanggung jawab ini dan itu. Harus ngurus keluarga, ngurus anak, nyediain rumah, makan sehari-hari.”

“Selama mereka merasa kebutuhan biologisnya terpenuhi, emosionalnya ada yang nampung, ya mereka hidup bareng.”

“Terus kalau nggak cocok ya langsung ngeloyor pergi, bubar blas! Persis seperti sapimu selesai kawin langsung kabur, nggak perlu tanya dulu sama penghulu,” jelas Mamat.

“Hidup di kota yang ruwet itu bikin pusing, jadi mereka tak mau pusing lagi kalau harus diatur ini itu dengan ikatan keluarga,” lanjut Mamat seperti analis psikolog sedang jadi narasumber seminar.

“Kumpul bareng? Hidup bersama?” tanya Badrun lagi.

“Begini, Drun, kebomu dikumpul rame-rame satu kandang itu dinikahkan dulu apa enggak?” tanya Mamat asal ngomong.

“Ngawur! Ya jelas tidak, kan namanya juga kebo,” jawab Badrun.

“Nah, begitulah yang terjadi dengan ‘kebo-kebo’ di kota itu. Mereka, para kebo-kebo kaki dua itu, ‘kumpul’ tanpa nikah—orang Belanda bilang samen leven—hidup bersama tanpa ikatan pernikahan yang sah.”

Mereka berkumpul di kos-kosan, asrama, rumah tinggal, ruko—pokoknya kumpul. Makanya diberi sebutan menurut bahasa sekarang dengan “kumpul kebo”, alias kohabitasi.

Pokoknya hidup bersama sebagai suami istri di luar pernikahan. Saat ada dua orang belum menikah hidup bersama, romantis-romantisan, dan berintim-intim. Sampai melakukan hubungan seksual di luar pernikahan untuk waktu lama, sampai permanen—pokoknya bablas blas!

Badrun yang mulai punya titik terang cuma bisa mengangguk-angguk.

“Gimana? Jelas apa jelas?” tanya Mamat tak memberi pilihan. Jawabannya pasti harus “jelas”.

“Kasihan nama kebo kebawa-bawa, padahal nggak bersalah, nggak tahu apa-apa,” ujar Badrun merasa ikut prihatin.

Badrun bangun berdiri sambil meluruskan pinggang. Dilihatnya rumput-rumput yang disabit Mamat sudah lebih dari cukup. Badrun sekarang kebagian mengangkat rumput-rumputnya.

“Ya sudah, Mat. Yuk, sekarang waktunya kumpul kebo—dikasih makan rumput biar cepat besar. Dua bulan lagi kebo-kebo itu harus dipotong untuk kurban, kan?”

“Ngawur bahasamu!” ujar Mamat sambil menimpuk kepala Badrun dengan kerikil tanah liat.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Religi
Flash
SUMMON LEVEN
Hans Wysiwyg
Novel
Bronze
Cinta Tapi Diam
Indriastori_
Novel
Bronze
Akulah Sity Maryam Indonesia
Donto Hade
Novel
Aku dan Syawal
Siti Sarah Madani
Novel
a journey in holy prison
Shilatur rizky
Novel
Bumi Pun Tersenyum
Niken Sari
Novel
Mengejar Cinta Habaib
Talita Dzakiyah
Novel
Dalam Ikatan Tuhan
Shafiqa Ayyara
Novel
Dampar Pesantren
Aviskha izzatun Noilufar
Novel
Gold
100 Pesan Nabi untuk Wanita
Mizan Publishing
Novel
Gold
Dari Allah Menuju Allah
Noura Publishing
Novel
One (Hundred) Percent
Sri Sulastri
Novel
Gold
Psikologi Kebahagiaan
Noura Publishing
Novel
Bronze
IYYAAKI HUBBII
Daud Farma
Novel
Gold
Dekapan Kematian
Mizan Publishing
Rekomendasi
Flash
SUMMON LEVEN
Hans Wysiwyg
Cerpen
Jalan Tikus
Hans Wysiwyg
Cerpen
AFTER Itaewon October 29,2022
Hans Wysiwyg
Flash
BAJINGAN
Hans Wysiwyg
Novel
TEDUH DALAM BARA Dua Perempuan Teluk Naga
Hans Wysiwyg
Cerpen
SYURGA YANG DILELANG
Hans Wysiwyg
Flash
Mestakkung
Hans Wysiwyg
Flash
Kesempatan Kedua
Hans Wysiwyg
Flash
Tetangga Toko Sebelah
Hans Wysiwyg
Flash
SEPULANG REUNI IBU SAKIT
Hans Wysiwyg
Flash
CINTA MATI
Hans Wysiwyg
Flash
DUNIA JUNGKIR BALIK
Hans Wysiwyg
Flash
Tertawan Hati
Hans Wysiwyg
Flash
PAMIT
Hans Wysiwyg
Flash
MAKLAR
Hans Wysiwyg