Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Cerita ini jauh dari hiruk pikuk kota, di sebuah dusun, saat hari menjelang sore.
“Drun, sudah cukup belum rumputnya?”, Mamat bertanya sambil tangannya terus memotong rumput tanpa menoleh, berharap Badrun melihatnya dan memberi tanda supaya ia berhenti.
“Heh!, ditanya kok diam” Mamat bangun dari ngarit-nya karena Badrun tak kunjung kasih jawaban. Tapi pemandangan yang dilihatnya justru membuatnya dongkol. Badrun tidur dengan nyenyak di temani lagu campursari Ambyar--Didi Kempot yang mendayu-dayu.
“Sialan, bangun!, dasar kebo!” Mamat meradang, mengangkat tumpukan rumput dari keranjang dan menumpahkan seluruh isinya tepat di kepala Badrun.
Karuan saja Badrun panik, tapi begitu tersadar yang pertama diingatnya justru hape.
“Mana hapenya, mana hapenya” teriaknya panik sambik mengobok-obok tumpukan rumput seperti mencari jarum.
“Semprul!, dibantu nyari rumput malah tidur!” gerutu Mamat, sambil lalu meninggalkan Badrun yang sibuk memasukkan tumpukan rumput ke dalam keranjang.
Di kampung Karangsari, orang ngangon--pelihara kebo itu dibuatin kandang, makanya si pemiliknya harus cari rumput untuk pakannya. Tapi di kampung sebelah malah sebaliknya, kebo-kebo di lepas liarkan dan kebun-kebunnya malah dipagar.
Sekarang trend di kota malah ikut-ikutan orang di Kampung sebelah, kebo-kebo di lepas liar dibiarkan tanpa pengawasan cari makannya sendiri. Akibatnya ya tentu saja menganggu kebun tetangga kanan kiri. Dimana-mana kebo menjadi liar, kumpul dimana saja mereka mau. Dibawah pohon, di kebun tetangga, di kuburan, pokoknya dimana mereka suka, bisa duduk rehat sambil mengunyah rumput setelah sebelumnya disimpan dalam fundus, lambungnya selama beberapa jam sebelum jadi kotoran.
Pulang cuma kalau dicari pemiliknya, dan digiring ke kandang atau ditangkap satpol Pamong Praja yang sedang razia..
***
“Di kota apa banyak kebo juga ya Mat?” Badrun mulai tanya-nanya, setelah membaca sebuah artikel di hape yang tak pernah lepas dari tangannya.
“Tumben baca, biasanya cuma nonton. Makanya baca, baca.” Mamat kesal karena ia yang tak punya hape malah ditanyain.
“Kenapa memangnya” Mamat balik bertanya.
“Nih, di kota lagi ada trend baru KUMPUL KEBO” ujar Badrun sambil menunjuk sebuah judul tulisan di hapenya.
“Buat apa ya kebo-kebo dikumpulin, apa untuk Qurban, abis puasa Ramadhan nanti?”
“Semprul!, itu mah beda!” ujar Mamat sambil terbahak.
“Apa bedanya dengan kebo-kebo kita?” Badrun tambah bingung dengan jawaban Mamat.
“Kebo di kota kakinya dua, kebo kita kakinya empat” jawab Mamat asal, langsung to the poin biar Badrun langsung jelas duduk masalahnya.
“Memang ada kebo kaki dua, berarti pincang kakinya?” Badrun malah tambah bingung, sedangkan Mamat malah tambah jengkel tapi juga geli ketidaktahuan Badrun.
“Yang pincang itu pranata sosialnya, etikanya, moralnya, bukan kakinya, Mas Badrun”.
“Begini Mas Badrun yang terhormat, “kebo” di kota yang kakinya dua itu wujudnya “orang--manusia”, sedangkan “kebo” dikampung kita itu “kewan—hewan”, lanjut Mamat menjelaskan lebih jauh.
“Terus kalau memang “orang” kenapa disebut “Kebo”?, Badrun malah tambah bingung pusing tujuh keliling.
“Nah itulah, ya, karena sifatnya yang meniru bagaimana cara kebo hidup. Makan dimana saja, hidup lepas liar kemana saja tidak aturan. Mereka mungkin dilepas liar dari rumahnya oleh orang tuanya, merasa sudah punya penghasilan, pengetahuan untuk urusan cari uang untuk bertahan hidup jadi ngak bergantung lagi sama orang lain, pokoknya bebas. Terus mereka ketemu kawan-kawannya yang lain yang bebas seperti mereka, terus kumpul, baik laki maupun perempuan kumpul. Persis si Sapa dan Sapi jantan-betina punyamu."
"Nah kalau mereka disuruh kawin jelas langsung mau, karena ngak ada ikatan tapi kalau disuruh nikah seperti sunnahnya manusia, mereka jelas ogah. Mana mau mereka diikat sama aturan harus begini dan begitu, harus tanggungjawab ini dan itu. Harus ngurus keluarga, ngurus anak, ngurus nyediain rumah, makan sehari-hari.
"Selama mereka merasa kebutuhan biologisnya terpenuhi, emosionalnya ada yang nampung ya mereka hidup bareng.
"Terus kalau ngak cocok yang langsng ngeloyor pergi, bubar blas!. Persis seperti sapimu selesai kawin langsung kabur, ngak perlu tanya dulu sama penghulu.” jelas Mamat.
"Hidup di kota yang ruwet, itu bikin pusing, jadi mereka tak mau pusing lagi kalau harus diatur ini itu dengan ikatan keluarga," lanjut Mamat seperti analis psikolog sedang jadi narasumber seminar.
“Kumpul bareng?, hidup bersama?” tanya Badrun lagi.
“Begini Drun, kebomu dikumpul rame-rame satu kandang itu dinikahkan dulu apa enggak?” tanya Mamat asal ngomong.
“Ngawur!, ya jelas tidak, kan namanya juga kebo” jawab Badrun.
“Nah, begitulah yang terjadi dengan “kebo-kebo” di kota itu. Mereka para kebo-kebo kaki dua itu “kumpul” tanpa nikah—orang Belanda bilang samen leven--hidup bersama tanpa ikatan pernikahan yang sah."
Mereka berkumpul di kos-kosan, asrama, rumah tinggal, ruko, pokoknya kumpul, makanya diberi sebutan menurut bahasa sekarang dengan “kumpul kebo”, alias kohabitasi.
Pokoknya hidup bersama sebagai suami istri di luar pernikahan. Saat ada dua orang belum menikah hidup bersama, romantis-romantisan dan ber-intim-intim. Sampai melakukan hubungan seksual di luar pernikahan untuk waktu lama, sampai permanen—pokoknya bablas blas!.
Badrun yang mulai punya titik terang cuma bisa mengangguk-angguk.
“Gimana?, jelas apa jelas?” tanya Mamat tak memberi pilihan. Jawabannya pasti harus “jelas”.
"Kasihan nama kebo kebawa-bawa, padahal ngak bersalah, ngak tau apa-apa" ujar Badrun merasa ikut prihatin.
Badrun bangun berdiri sambil meluruskan pinggang, dilihatnya rumput-rumput yang disabit Mamat sudah lebih dari cukup, Badrun sekarang kebagian mengangkat rumput-rumputnya.
“Ya sudah Mat, yuk sekarang waktunya kumpul kebo, dikasih makan rumput biar cepat besar. Dua bulan lagi kebo-kebo itu harus dipotong untuk Qurban kan?”.
“Ngawur bahasamu!” ujar Mamat sambil menimpuk kepala Badrun dengan kerikil tanah liat.