Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Bu, kenapa kita harus tinggal di rumah ini?, kenapa ngak di rumah kakek aja yang banyak makanannya", rengek adik bungsuku.
Aku lihat ibu hanya diam, tapi matanya berkaca-kaca.
Setiap pagi aku menemukan sebotol susu di dekat pintu depan yang kemudian dihangatkan dan dibagi kedalam tiga gelas besar, tapi ibu sama sekali tak pernah meminumnya.
"Untuk adikmu, siapa tahu ia masih mau".
Sebenarnya aku tak tahu persis apakah rumah di pojok itu milik kakek atau bukan. Seandainyapun itu bukan rumah kakek, berarti kami mungkin menyewanya. Tapi kenapa kami harus menyewanya jika rumah kakek begitu besar?.
"Kita tak bisa selamanya bergantung kepada orang lain, sekalipun itu kakekmu. Ibu sudah menikah dan keputusan itu artinya kita sudah mulai belajar bertanggungjawab" jelas ibuku, meskipun aku sebenarnya tak sepenuhnya paham dengan alasan itu.
Kami memang tinggal disana, tepatnya setelah ayah dan ibu menikah. Sebuah rumah hook kecil tepat di pojok jalan yang ramai, tapi sayangnya bangunan itu hanya dijadikan rumah tinggal.
Rumah itu sebenarnya memang toko, berdinding papan yang bisa dibuka tutup seperti rollingdoor jadul. Bahkan jika kami tak berhati-hati bersandar akan terjerembab jatuh ke dalam, dan terbukalah dinding rumah itu.
Bagian yang bisa terbuka itu persis dimana ruang tidur kami berada. Tempat tidur itu terbuat dari besi tempahan dibalut kelambu warna biru kusam.
Tempat tidur itu menghadap langsung ke dinding, dan disebelahnya terdapat sebuah meja kayu kecil, tempat untuk makan atau menyimpan termos untuk persediaan air panas.
Di meja itu juga aku biasa mengaji setiap menjelang malam, magrib tepatnya. Belajar membaca Qur'an, dengan terbata-bata, diajar oleh ibuku yang sabar, tapi juga sesekali hilang kesabarannya karena aku yang bandel dan suka main.
"Kapan terakhir ibu pindah dari sana?", aku pernah menanyakannya suatu kali. Ibu tidak menjawabnya tapi justru menangis.
"Setelah kamu pergi, adikmu tak lama juga pergi menyusulmu. Rumah terasa begitu sunyi sejak tak ada kamu" ujar ibu.
Mengingat rumah yang satu ini, aku selalu terharu, dulu mungkin aku hanya mengingat ruang dan besarnya, tapi sekarang aku bisa mengingat dan merekam kisah didalamnya.
Ibu pasti masih ingat bagaimana kisah kami disana. Mengingat rumah itu, lagi-lagi aku harus katakan, ibuku adalah perempuan terhebat, dan seluruh kekagumanku memang cuma untuknya.
Rumah itu menyimpan kisah yang sama banyaknya dengan rumah besar kakek, hanya saja rumah ini lebih menyimpan kisah keluargaku, terutama kisah ibuku dan aku.
Bagian beranda depan rumah sebenarnya adalah ruang etalase, yang kami gunakan sebagai ruang tamu. Dengan sebuah papan tulis besar menutup bagian dalam dinding beranda. Papan itulah tempat kami menghabiskan waktu menggambar dengan kapur tulis, menggambar apa saja.
"Mungkin karena kapur-kapur itu, sinus akhirnya datang" begitu pernah ibu katakan padaku.
Aku tak tahu apakah riwayat sakit alergi debuku sekarang karena kebiasaanku menulis dengan kapur dulu?. Apakah juga kepandaianku sekarang menggambar karena itu juga.
Rumah pojok di pertigaan jalan itu berdampingan dengan deretan toko kelontong milik Afie Martafianko, dan berdempetan dengan warung gudeg bu Sugito. Sedangkan bagian belakang rumah adalah bekas gudang, berisi banyak barang dari rumah besar kakek yang teronggok tak terpakai.
Aku pernah menemukan keping uang logam dalam jumlah besar, padahal jumlah nominal uang itu pada jamannya pasti cukup berharga.
Menurut ingatanku mungkin ada sejuta. Aku tak tahu persis apakah uang itu terlupakan atau disimpan untuk tujuan tertentu. Tapi kami menggunakannya untuk main belanja-belanjaan.
"Kamu meninggalkan rumah ini, saat karnaval tujuhbelas agustusan." kata ibu mencoba mengingat-ingat waktunya. Dan seingatku, memang betul di tanggal itu adalah saat dimana aku meninggalkannya terakhir kali untuk selanjutnya aku tinggal sementara di kota lain selama beberapa bulan, sebelum berangkat ke pulau yang jauh mengarungi laut dengan sebuah kapal besar.
Mestinya saat itu adalah saat yang paling mengharukan dalam hidupku, karena aku melihat lambaian tangan dan sempat melihat tangis ibuku yang tak biasanya untuk terakhir kalinya, tapi aku baru menyadarinya bertahun-tahun kemudian.
Ibu kemudian tak hanya bertahan hidup demi adik-adikku, tapi juga menahan kesedihan berpisah dengan aku, karena selama ini aku adalah temannya berbagi, menemani kesedihannya dan tempat berbagi curahan hati.
Meskipun aku hanya bisa menemaninya menangis setiap kali ibu bercerita tentang sesuatu yang membuatnya sedih. Aku sering memandang wajahnya dari bawah dagunya, ketika air matanya jatuh dipipiku, dan dengan dengan tangan kecilku aku mengusapnya. Ibu biasanya tersadar dan terseyum malu memandangku.
Itulah cerita rumah kecil di pojok pertigaan jalan, rumah yang dulu pernah aku tinggali.