Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Drama
Seperti Bintang
1
Suka
132
Dibaca

            Biru menemukan dirinya sendiri lagi. Dia duduk di balkon kamarnya, menatap ke arah jalan yang sepi sambil hanyut di dalam pikiran. Sudah tiga hari dia menghabiskan waktu untuk melakukan wawancara pada tokoh-tokoh penting ataupun keluarga-keluarga di desa Daun yang terdampak limbah perusahaan asing Atap Rumah yang menjual kaca mobil kuat tahan banting sesuai klaim mereka. Dia sudah mengumpulkan beberapa rekaman suara dan mencatat pernyataan-pernyataan mereka yang Biru kira penting untuk mendukung hipotesis penelitiannya. Wawancaranya berjalan lancar, kepala desa Daun senang atas inisiatif Biru untuk menyelidiki mengenai perusahaan kaca mobil di dekat desa mereka, tetapi Biru malah merasa resah, pikirannya bercabang-cabang yang seakan-akan tidak bisa dia gapai akarnya. 

            Di atas meja sebelah Biru ada teh celup yang sudah dingin. Biru menatap langit yang dipenuhi bintang-bintang. Dia pun ingat pernah dinyanyikan lagu "Bintang Kejora" oleh neneknya saat masih kecil. "Kapan itu? belasan tahun lalu," pikir Biru lalu meminum sedikit tehnya yang sudah dingin. Angin malam sepoi-sepoi membuat bulu badan Biru berdiri. Tiba-tiba, Hijau muncul dari pintu dan ikut duduk di sebelahnya setelah meletakkan teh hangat di sebelah teh dingin Biru. Hijau menghela napasnya keras-keras, dia baru saja selesai mandi dan memanaskan air untuk membuat teh.

            "Melamun saja, Biru?" goda Hijau lalu menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya.

            Biru hanya tersenyum. Hijau pun ikut tersenyum. "Besok kita berikan data-datanya ke Pak Merah, ya? Ah. Makin pendek saja waktu kita di sini! Aku belum puas memancing dengan anak-anak dekat sungai!" Hijau memang sering memancing dengan anak-anak di dekat sungai, mereka pun menjadi akrab. Biru sering melihat Hijau tertawa-tawa dengan anak-anak di daerah sini. "Tapi, gak masalah. Aku juga sudah rinduuu dengan rumahku! Ah!" dia meregangkan otot-ototnya. Biru mengangguk-anggukkan kepala, belum tentu setuju.

            "Kamu suka bermain dengan anak-anak itu ya?"

            "Yah ... lumayan. Mereka tengil tapi kocak."

            Biru tersenyum tipis. Sesuatu terlintas di pikirannya yang membuat Biru menghela napas. Hijau pun melirik Biru sekilas. "Aku ingat kamu tidak tahu cara memancing sampai diajari anak-anak itu. Kamu biarkan aku kerja sendirian sementara kamu memancing!"

            "Hei," Hijau sontak saja tegang, "jangan begitu, Biru. Aku sudah bantu-bantu, 'kan? Lagian, itu sebagai usaha bonding agar penduduk menerima kehadiran kita."

            Biru tidak menanggapi yang membuat Hijau merasa cemas. "Kamu serius, Biru? Kalau begitu kita harus bicara tentang ini. Aku sudah wawancara beberapa orang juga, 'kan?"

            "Besok kita akan sudah selesai, kuharap, karena aku tidak ingin lama-lama diam sebagai usaha untuk mempertahankan kesan baik denganmu," kata Biru. Hijau pun menatap Biru dengan syok. "Aku iri dengan orang-orang sepertimu, Hijau."

            "Maksudmu apa?"

            "Rasanya, kuperhatikan kamu, kamu itu ... kurang ajar. Terlalu banyak bicara dibandingkan bertindak. Seperti pepatah itu, tong kosong nyaring bunyinya. Namun, orang-orang seperti kamu juga yang selalu beruntung. Aku heran, Hijau. Sangat heran, apa yang mereka sukai dari orang sepertimu?"

            "Biru! Ada apa denganmu? Mabuk?" Hijau melirik gelas biru.

            Biru tersenyum pahit, "lihatlah. Kamu masih mengasumsikan yang baik dariku, Hijau. Apakah kamu selalu beranggapan semua orang menyukaimu?"

            "Kamu tidak suka denganku?"

            "Ah," Biru menggelengkan kepalanya, merasa Hijau lambat menyimpulkan sesuatu, "iya. Tentu."

            Hijau terdiam, dia terlalu syok untuk merangkai kata-kata. Angin malam semakin dingin, Biru kembali menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya seolah-olah apa yang dia katakan tidak begitu besar. Biru melirik Hijau lago, "kamu juga ngorok. Kamu tidak sadar, ya? Tentu. Kamu tidak pernah sadar tentang apapun!"

            "Karena itu kamu tidak suka aku?"

            "Salah satunya. Kamu tahu pentingnya tidur untukku yang ikut memikul bebanmu? Kamu ini memang beban. Kamu setidaknya bisa sadar itu, 'kan? Melihat wajahmu, Hijau, sudah membuatku kesal. Bisa jauh-jauh dariku?"

            "Kamu yang jauh-jauh dariku!" Hijau pun mulai kesal.

            Tiba-tiba, Biru merasa terancam, tetapi dia tetap melanjutkan bicaranya. "Aku iri denganmu, Hijau. Aku heran, apa yang begitu menarik darimu? Kurasa aku sudah tahu jawabannya. Itu adalah karena kamu spontan. Dalam spontan kamu menebar senyuman, kata-kata manis. Ditambah, wajahmu juga ... tidak buruk. Ke mana pun kamu melangkah, rasanya dunia selalu memberkati, orang-orang sangat menyukaimu. Aku iri."

            "Jadi itu ... hanya karena kamu iri?"

            "Bukan hanya iri. Aku juga benci denganmu. Kamu memanfaatkanku, Hijau. Setelah membuat semua orang menyukaimu, kamu menekan orang-orang sepertiku. Kamu pasti belum tahu, Hijau, Pak Merah memintamu menjadi sekretarisnya? Kamu tahu siapa otak dibalik semua ini? Aku. Bukan kamu!"

            "Maksudmu aku tidak berpikir?! Hah!" Hijau tersenyum heran, "Itulah kamu Biru. Merasa paling pintar! Bukan salahku orang-orang menyukaiku, 'kan?"

            "Kamu memang tidak berpikir. Aku memang paling pintar dan itu adalah salahmu mereka menyukaimu! Seharusnya, kamu tidak biarkan mereka mancing di sungai itu, Hijau! Limbah pasti mengalir ke sana. Pun tidak ada ikan. Untuk apa? Seru-seruan. Itulah! Hidupmu hanya untuk seru-seruan! Kamu tidak berpikir tentang anak-anak itu, 'kan? Kamu hanya penasaran dan kamu ikut-ikutan memancing di sana seperti orang idiot!"

            "Apa katamu?"

            "Kataku kamu seperti orang idiot!"

            Hijau menautkan alisnya, dadanya sudah naik turun karena emosi. Biru menatapnya tanpa takut walaupun tangannya sudah bergetar yang berusaha dia sembunyikan. "Dan orang sepertimu yang akan menjadi sektretaris Pak Merah."

            "Hah! Makan itu, Biru. Makan itu!" Hijau mengambil gelas tehnya lalu berjalan ke dalam, meninggalkan Biru di luar masih dengan banyak pernyataan yang belum dia keluarkan. Biru menatap langit malam, menyadari perbuatannya yang bisa berakibat fatal. Namun, di saat yang bersamaan Biru merasa lega karena telah membuat Hijau membencinya.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Novel
Bronze
Heartless
Aylanna N. Arcelia
Flash
Tempat Cuci Piring
Yovinus
Flash
Seperti Bintang
Desp
Novel
The Secret Of Snowflakes
Dyah Arum
Novel
This is The Time
Dewi Hayyu Octafitriyani
Novel
Gold
KKPK Garage Sale
Mizan Publishing
Flash
AKU
Anisa Rahayu
Novel
When The Darkness Becomes To The Light
Agid Zoe
Novel
Bronze
Untill We Meet Again
Nany Parker
Novel
Goggy
Daniel
Skrip Film
MYSTERY BOX
Yolanda Putri Salsabyla
Skrip Film
Cerita Ini Belum Berjudul
Ainun Nisa
Flash
KAUSALITAS
zae_suk
Novel
Diary Sarah
Maysaaaa
Flash
Hadiah untuk Pengkhianat
Nurai Husnayah
Rekomendasi
Flash
Seperti Bintang
Desp
Cerpen
Rumah Po
Desp