Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
eng dipenuhi kerikil kecil, aku yang sudah terbiasa bertelanjang kaki itu lari terbirit-birit seperti sedang dikejar anjing sambil menenteng tas kresek baruku.
Aku ingat sekali pagi itu aku mengejar bunyi lonceng sekolah yang bangunannya jadi satu dengan Langgar dekat rumahku.
"Brotoseno!" Suara guruku yang menggelegar seantero sekolah berteriak memanggil namaku.
Mendengar hal itu kaki-kaki kecilku yang rasanya ringan saat itu seketika memacu lebih cepat lariku untuk sampai di sekolah sebelum bunyi lonceng berhenti. Kalau tidak, betisku bisa-bisa lebam lagi karena lidi Pak Guru.
Namaku Brotoseno, atau biasa dipanggil Broto. Aku adalah satu-satunya anak lelaki dari 12 bersaudara yang lahir di pelosok desa dan kegiatan yang sudah dibagi padaku adalah menggembala kambing milik Bapak dan Mbok.
Itu adalah tulisan biografi pertama yang kutulis untuk perkenalan saat aku pertama kali masuk sekolah sekaligus menjadi biografi terakhir yang kusematkan di buku yang baru kutulis kemarin.
Di umur 50 tahun ini, ingatan yang lebih tepat disebut kenangan itu muncul sekelebat melewati pikiranku yang sudah cukup usang.
Menjalani hidup seperti ini ternyata seru juga. Memikirkan hari esok seperlunya dan menggunakan hari ini sebagai tumpuan hari esok. Sama seperti ketika aku pertama kali datang ke kota ini. Kuliah yang kuambil hari itu memang cukup untuk memberi makan otakku, tapi tidak untuk perutku. Maka, hari itu juga aku harus terseok-seok dulu untuk memberi perutku makan. Setidaknya makanan itu bisa lebih dan bisa dimakan ketika keesokan paginya.
Saat itu aku bermimpi menjadi petualang yang bisa pergi kemana saja dengan kakiku lalu menorehkannya pada lembaran kertas yang bisa digunakan sebagai imajinasi atau mungkin inspirasi. Tapi, toh aku cuma pemuda miskin dari ujung desa yang jangankan bermain, mau makan saja mesti tahu diri dan berpeluh lebih dulu. Dan pendidikan kuliah lah satu-satunya motivasiku untuk dapat keluar dari rantai itu, walau aku mesti menelan ludah ketika temanku makan siang dengan menu terbaru di kantin, berangkat ke kampus menggunakan mobil barunya sedangkan aku harus kena panas matahari siang menaiki sepeda Kebo-ku yang masih kucicil pembayarannya.
Berkat pilihan-pilihan yang kuambil itu, mimpiku yang tadinya hanya bisa kuimpikan melalui genteng rumahku yang sudah bolong di desa kini betul-betul bisa membawaku pergi hingga ujung dunia, dan keajaiban pun mulai muncul satu persatu usai waktu-waktu sulit yang kuhadapi. Salah satunya adalah pernikahanku dengan Hayu dan melahirkan ketiga anakku.
Begitulah kehidupanku saat aku seusia dengan Rinai, Guntur, dan Pelangi. Maka, akan kusiapkan ketiga anakku untuk masa depan yang harus dijalani mulai hari ini. Tak lupa juga kusiapkan mereka bertiga untuk selalu menjaga satu sama lain sebagai saudara. Tak akan pula kubiarkan mereka melewati jalan yang sudah kulalui sebelumnya. Tak akan.