Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Guguran daun maple menyapa soreku. Rintik gerimis masih menyisakan dingin yang sedikit menampar pipi. Beberapa orang berlari untuk menghindarinya, sebagian lagi berjalan santai dengan payung.
Tapi tidak bagiku. Aku menikmatinya dengan mata yang penuh kenangan.
Ya, aku sedang mengenangnya. Seseorang yang pernah singgah, lebih tepatnya yang selalu ada di hatiku. Memori tentangnya merasuk sepanjang musim. Namun memuncak ketika musim gugur. Hawa dinginnya menjelaskan bahwa aku masih terlalu rapuh untuk melupakannya.
Lima tahun yang lalu, ketika aku baru menginjakkan kaki di Düsseldorf, ia menyapaku dengan lambaian tangan. Aku masih ingat betul dengan apa yang saat itu ia kenakan. Hodie abu muda dengan jaket jins warna hitam. Mukanya yang selalu terlihat sedikit pucat hanya menyunggingkan separuh senyuman. Rambut mohawk menghias ujung kepalanya. Rambutnya yang berwarna coklat muda membuatnya terlihat manis walaupun sangat kontras denga kulit putih pucatnya. Badan jangkungnya melangkah menujuku yang mematung karena kedinginan di pojok halte trem. Cuaca saat itu tidak bersahabat denganku yang terbiasa dengan udara tropis.
"Kau anak baru di kelas lukis kan?" sapanya waktu itu.
"Iya, kau ada di sana juga?" tanyaku dengan nada bergetar menahan dingin.
"Tidak. Aku di kelas musik. Tadi kau sedang memperkenalkan diri di depan kelas ketika aku sedang lewat," jawabnya.
"Ah, pasti terlihat sangat kacau ya." Mendadak aku merasa malu karena mengingat kejadian tadi.
"Sayangnya aku tidak mendengarmu dengan jelas tadi. By the way, namaku Jason. Siapa namamu?" Dia menyodorkan tangannya kepadaku.
"Sarah," jawabku sambil menjabat tangannya.
"Asalmu dari mana?" tanya Jason lagi.
"Aku dari Indonesia," jawabku dengan gigi yang semakin bergemelatuk.
"Tapi wajahmu terlihat tidak seperti orang asia." Jason mengernyitkan dahinya.
"Ibuku berdarah Indonesia, Ayahku berdarah Jerman."
"Half indonesien und half deutsch[1]. Ok, aku paham. Hei, tremku sudah datang. Kau naik itu juga?" tanya Jason sambil menunjuk sebuah trem yang melaju pelan menuju halte.
"Punyaku setelah trem itu," jawabku lagi.
"Ach so[2], kalau begitu aku duluan ya. Sampai ketemu lagi, Sarah."
Kenangan awal dengan Jason tak akan mudah kulupakan. Sepanjang waktu memori itu selalu terputar indah di pikiranku. Sama halnya dengan kenangan-kenangan yang terjadi setelahnya.
"Sarah, kau tahu persamaan dirimu dengan roti?" tanya Jason tiba-tiba waktu kami sibuk mencari hadiah untuk hari ibu.
"Apa?" ujarku balik bertanya.
"Kau dan roti itu sama-sama penting. Harus ada setiap hari. Harus kulihat setiap hari...."
"Tapi aku tidak harus kau makan, kan?" Aku menyela sambil menunjukkan dompet berwarna hitam polos padanya. Ia menyuruhku untuk meletakkan kembali dompet itu sebelum menjawabku.
"Iya, sih. Kau tidak mungkin kumakan. Tapi kau selalu di sini. Selamanya." Kata Jason dengan menepuk dada sebelah kirinya.
Waktu itu aku tergelak karena mendengar jawabannya yang kuanggap sebagai lelucon. Karena terlalu sering Jason melontarkan gombalan padaku, hatiku seakan kebal dengan semua ucapannya. Andai saja waktu itu aku sadar dengan apa yang akan terjadi, aku pasti akan menatap matanya lekat-lekat, kemudian memeluknya dan berbisik padanya. "Aku juga cinta padamu."
Tapi waktu tak bisa kuputar. Aku tak bisa lagi berbicara padanya. Sekarang, ia terlalu jauh untuk kujangkau.
Lalu, memoriku terus berjalan sampai pada akhir kisah kami. Saat ia menyatakan cintanya padaku. Saat ia memberiku kebahagiaan yang pada akhirnya hanya bisa kugenggam sampai saat ini.
"Sarah, mungkin ini terdengar aneh. Aku tidak bisa menahannya lagi. Aduh, bagaimana ya. Kau tahu kan aku tidak bisa bersikap romantis. Tapi Sarah, tolong dengarkan aku. Aku bersungguh-sungguh dengan apa yang kukatakan." Lalu ia menyeka keringatnya yang hampir menetes di peilipis. Waktu itu, aku menunggunya dengan raut muka serius karena tidak biasanya ia bersikap seperti itu.
"Sarah, aku mencintaimu. Sungguh mencintaimu. Benar-benar mencintaimu. Maukah kau menjadi wanitaku?"
Akhirnya kata itu terlontar dari ucapannya, bersamaan dengan daun maple yang jatuh di atas rambutnya. Sesaat aku hanya terdiam dan memandangnya yang sedang tertunduk di depanku. Badannya bergetar. Bukan karena dinginnya musim gugur, tapi karena dia terlalu gugup untuk mendengar jawabanku.
Tanganku meraih daun yang terjatuh di kepalanya itu. Setelah membuangnya, kuraih tangan Jason kemudian memeluknya erat.
"Kenapa kau begitu takut untuk mengatakan itu? Kau terlihat konyol," kataku. "Ya, aku juga mencintaimu Jas, aku mau menjadi wanitamu."
Pada awalnya aku mengira kebahagiaan itu akan kekal. Aku akan menua bersama Jason sambil terus merangkai kenangan indah. Namun takdir berkata lain. Sehari setelah aku bersedia menjadi wanitanya, musibah terjadi padaku. Ada sebuah mobil dengan rem blong yang kehilangan kendali di tengah jalan.
Aku berada di sana, tanpa sempat untuk menghindar. Masih kuingat jelas bagaimana tubuhku terhempas ke aspal. Darah mengalir dari sela-sela rambutku. Bau amis menguar pekat. Aku tak bisa bergerak dan melihat. Hanya mampu mendengar orang-orang yang mulai berkerumun di sekitarku. Setelah itu, hanya gelap yang kurasakan.
Mataku terbuka ketika suara Jason memanggil-manggil namaku. Tapi aku tak lagi berbaring di kasur rumah sakit yang keras. Aku berdiri di samping Jason, tapi ia tak bisa melihatku. Seketika duniaku runtuh. Ketakutan yang luar biasa menjalar di benakku. Sampai akhirna, kuberanikan diri untuk melihat ke atas kasur yang ada di sampingku.
Ah, tubuhku terbaring di sana. Dipenuhi luka dan alat-alat yang tak kuketahui namanya. Kulitku terlihat lebih pucat dari kulit Jason.
"Sarah, bangun. Please, bangun Sayang. Jangan pergi." Jason terus berkata seperti itu. Air matanya mengalir tanpa henti. Baru kali ini aku melihatnya seperti itu.
Berulang kali aku mencoba untuk berbicara padanya. Tapi percuma. Ia tak menyadari keberadaanku. Yang ia tahu aku sedang terbaring di kasur itu. Sekarat.
Hah! Mengenang memori itu selalu saja membuat hatiku terasa terbakar. Seandainya aku masih hidup, mungkin aku sudah meneteskan air mata. Menangis tersedu. Tapi tidak bisa. Seorang tak bernyawa sepertiku tidak bisa menangis. Hanya ada perasaan sedih tanpa bisa untuk melampiaskan.
Benar, aku memang telah mati. Jasadku telah terkubur di tanah sejak satu tahun yang lalu. Dan sepanjang itu, aku masih berkelana, entah apa yang menahanku di sini. Aku hanya bisa menebak saja. Mungkin karena cintaku pada Jason yang akhirnya membuatku terus "hidup".
Dan kini, aku sedang menatapnya. Jason duduk di sebelahku. Tak menghiraukan rintik hujan membasahi tubuhnya. Air matanya mengalir pelan. Ia masih terlihat sangat menyedihkan. Sama seperti awal ketika ia harus merelakanku.
"Sarah, kau akan selalu menjadi wanitaku," bisik Jason pelan.
[1] Separuh Indonesia, Separuh Jerman
[2] Oh, begitu