Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di sudut kota yang sepi, Dira duduk di bangku taman, membiarkan hujan ringan membasahi wajahnya. Setiap tetes terasa seperti air mata yang tak pernah dia tunjukkan. Sudah setahun sejak ibunya meninggal, dan semua warna dalam hidupnya seolah menghilang bersamanya.
“Tapi aku ingin melukis lagi,” suara kecil itu tiba-tiba terdengar di sampingnya. Dira menoleh dan melihat seorang anak sekitar delapan tahun, memegang sekotak cat berwarna-warni. “Kau melukis, ya?” tanya anak itu dengan penuh rasa ingin tahu.
“Dulu,” Dira menjawab dengan nada datar, “sekarang tidak lagi.”
“Kenapa?” tanya anak itu, penasaran. “Kau bisa melukis apa pun yang kau mau! Lihat, aku melukis pelangi!” Dia menunjuk ke kanvas kecil di tangannya, di mana goresan warna-warni menghiasi permukaan.
Dira menatap lukisan itu, dan hatinya bergetar sedikit. “Pelangi... indah sekali,” katanya. “Tapi kadang, pelangi hanya muncul setelah hujan.”
“Ya! Tapi pelangi selalu ada, bahkan sebelum kita melihatnya!” jawab anak itu dengan bersemangat. “Aku belajar dari ibuku. Dia bilang, kita harus menciptakan warna kita sendiri.”
Dira tersenyum kecil, merindukan kebijaksanaan ibunya. “Ibumu pasti seorang pelukis yang hebat.”
“Ya, ibuku memang hebat,” jawab anak itu sambil mengangguk. “Dia melukis setiap hari dan selalu bilang, melukis membuatnya merasa bahagia. Kenapa kau tidak melukis lagi?”
Dira menghela napas, merasa beban di dadanya semakin berat. “Karena... aku tidak tahu bagaimana cara memulai. Semua yang ada di pikiranku terasa kosong.”
Anak itu duduk di samping Dira, menatapnya dengan mata lebar. “Kalau gitu, ayo kita mulai bersama! Mari melukis bersama. Aku bisa membantumu!”
“Melukis bersama?” Dira bingung, tetapi di dalam hatinya, ada sedikit semangat yang mulai tumbuh. “Aku tidak tahu apakah itu akan berhasil.”
“Kenapa tidak? Kita bisa melukis pelangi bersama!” kata anak itu, bersemangat. “Atau mungkin bunga? Apa yang kau suka?”
Dira mengerutkan dahi, mempertimbangkan. “Bunga... ya, aku suka bunga. Ibuku juga sangat suka melukis bunga.”
“Bagus! Aku punya cat di sini!” Anak itu mengeluarkan kotak catnya dan mengulurkan beberapa kuas. “Ayo, kita bisa mulai dari sini.”
“Baiklah,” Dira berkata, akhirnya membiarkan rasa ingin tahunya mengalahkan keraguannya. Dia mengambil kuas dan mulai menggoreskan warna di kanvas. “Tapi aku sudah lama tidak melukis. Mungkin hasilnya tidak akan bagus.”
“Tidak apa-apa! Yang penting kita bersenang-senang!” jawab anak itu, tersenyum lebar.
Mereka mulai melukis, dan Dira merasakan warna-warna itu hidup kembali di bawah kuasnya. Anak itu menari-nari di sampingnya, berceloteh tentang impian dan harapannya. “Aku ingin jadi pelukis terkenal, seperti yang ada di buku cerita. Dan kau? Apa impianmu?”
Dira terdiam sejenak. “Dulu, aku ingin melukis di galeri seni. Tapi sekarang... aku hanya ingin menemukan kembali diriku.”
“Kenapa tidak melakukannya? Kita bisa mengadakan pameran pelangi kita sendiri!” kata anak itu, membuat Dira tertawa.
“Pameran pelangi kita sendiri?” Dira mengulang, terinspirasi oleh semangat anak itu. “Itu bisa menjadi ide yang bagus.”
Ketika mereka selesai, mural bunga berwarna cerah menghiasi kanvas, dan Dira merasa hatinya semakin ringan. “Kau tahu, terima kasih telah mengajakku melukis lagi,” katanya sambil menatap anak itu.
“Tidak masalah! Sekarang, kita harus mencari tempat untuk menggantungnya!” jawab anak itu penuh semangat.
“Ya, kita akan melakukannya. Mungkin inilah saatnya aku kembali ke dunia seni,” Dira tersenyum, merasakan harapan yang mulai tumbuh.
Sambil berjalan pulang, Dira menyadari bahwa pelangi tidak hanya ada setelah hujan, tetapi juga bisa diciptakan dari langkah kecil untuk bangkit dari keterpurukan.