Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Gadis pucat itu melintas lagi. Saban pagi dan ini hari ketujuh aku melihatnya melenggang anggun. Perempuan hantu dengan kecantikan tak manusiawi. Cukup jangkung, mungkin sedikit di bawah seratus tujuh puluh centimeter, kulitnya transparan, dan langkah kakinya melayang, melewati toko roti kami dengan tak acuh. Meski pagi ini terjadi hal yang tidak biasa.
Tidak biasanya si gadis menoleh ke arah kiri, mengamati plang toko roti Tamar Indri, lalu melirik ke arahku. Mungkin melirik, karena mata perempuan pucat itu tertutupi kacamata surya hitam pekat. Kutebak sekenanya, agaknya ia menyadari dirinya diamati setiap pagi, kala melintas di depan toko, yang kuakui sebagai toko roti kami, padahal sebetulnya aku cuma pelayan di toko roti ini.
Pemilik toko ini adalah Bung Koes, saudara sepupuku dari pihak ibu. Mentang-mentang dimiliki kerabat sendiri, aku ikut merasa memiliki toko Tamar Indri, sebuah toko kecil yang menjajakan roti-roti buatan sendiri yang sehat, lezat, dan higienis.
Konon katanya lezat rasanya. Namun, aku bersikukuh, roti paling enak sedunia hanya bisa dibeli di kantin SMP Ratu Widuri. Almamater tempatku bersekolah dulu, mempertemukanku dengan Arya Vati, teman karib yang tak kulupa hingga kini. Jujur saja, aku, Embun Wungu termasuk orang pendengki, dan Arya Vati adalah satu-satunya yang tidak menjadi sasaran iri dengkiku.
Betul, aku mulai menaruh dengki pada gadis pucat yang kusebut perempuan hantu. Lantaran sosoknya yang seakan tak nyata, terlalu cantik untuk dunia ini, maka kusebut dia hantu. Dugaanku, gadis itu pasti kaya raya dan tak pernah hidup menderita. Kulitnya bening, tubuhnya molek, pakaiannya pun elegan. Terutama aku kagum dengan tas tangannya yang selangit. Harganya tinggi dan setiap hari modelnya berganti. Pasti dia putri pemilik butik tas mewah, pikirku iri.
Kebetulan, Arya Vati juga pucat seperti gadis itu, tetapi kulitnya kusam keabu-abuan. Tubuhnya kecil, menyerupai bocah SD, meski saat itu Arya Vati berstatus siswi SMP. Badan Arya Vati beraroma tengik, karena kabarnya ia terpaksa melahap bawang putih mentah untuk mengusir lapar. Arya Vati mengaku berutang budi padaku, karena aku kerap membantunya mengerjakan PR dan mentraktirnya di kantin sekolah. Sebagai anak dari buruh pengupas bawang, Arya Vati sakit-sakitan dan lemah pikiran karena kekurangan gizi. Kelemahan Arya Vati satu lagi, ia plin-plan bukan main, tak pernah mampu memutuskan hendak membeli roti selai apel ataukah roti selai nanas. “Roti apel atau roti nanas, Kak?”
Pada hari ke delapan, penampakan si perempuan hantu kian nyata. Tahu-tahu ia sudah masuk, tanpa basa-basi menatapku lurus-lurus, amat dekat dan mengancam. Tangan kirinya mengacungkan roti selai apel, dan tangan kanannya tersembunyi di balik punggung. Dengan debar-debar cemas, kulihat tangan kanannya terulur, menunjukkan roti selai nanas yang harum. Semilir aroma parfum yang berkelas membuatku sedikit mabuk. Pelan-pelan ia berujar, “Kak Wungu, enaknya roti apel atau roti nanas, ya?”
Yakinlah aku, bahwasanya aku sedang mabuk berat. Si gadis menanggalkan kacamata hitamnya, agar aku bisa menatap iris matanya yang abu kebiru-biruan. Senyum manisnya mengembang, tampaklah gigi taring gingsul yang khas, rasanya cuma dipunyai Arya Vati, sobatku yang dikabarkan sudah meninggal. Paras si gadis makin pucat, menyerupai hantu, seringainya lebar dan seolah-olah mau bertanya, “Menurutmu, aku ini hantu atau bukan?”