Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
25 Tahun kemudian, aku mengunjungi kota kelahiranmu Sea. Semua tampak telah berubah, setiap sudut kota begitu bersih dan langit yang jernih. Butuh waktu beberapa tahun lebih untuk membersihkan puing-puing yang disebabkan para tentara kera keji itu.
Aku menatap penuh haru pada mesjid al aqsa tempat dimana kiblat pertama umat islam berada.
Aku masih tidak melupakan perkenalan awal kita. Saat itu aku yang akan berangkat menjadi relawan untuk gaza harus terhenti karena masalah kesehatan. Padahal semua dokumen keberangkatan sudah siap begitu pun dengan bahasa arabku sudah bisa di bilang saudara di gaza akan paham dengan apa yang akan aku katakan.
Hari itu, aku hanya bisa melihat keberangkatan dua sahabatku. Aku pulang dengan air mata yang tak kunjung berhenti. Berita tentang gaza setiap harinya membuatku sesak dan begitu marah. Seharusnya aku di sana sekarang, bukan disini.
Aina dan fadlan menelfonku, mereka adalah temanku, beruntungnya aina bisa berangkat bersama suaminya sendiri. Hari itu kamu berbincang cukup lama, mereka berdua berada di rumah sakit indonesia membantu para pasien.
Aina menatapku dengan wajah seriusnya.
“Ri, Apakah kamu mau menikah dengan pemuda palestina?”
”Kamu jangan bercanda aina.”
”Tidak, aku tidak bercanda. Dia adalah seorang jurnalis di sini. Dia ingin segera menikah.”
”Tapi, aku di indonesia.”
”Tidak apa-apa.”
”Tapi apakah dia mau denganku?”
Aina melihat ke arah kanannya, seorang pria dengan perawakan wajah pemuda palestina tersenyum ke ponsel aina.
“Subhanallah,” river cukup terkejut.
Dia menggunakan rompi biru bertuliskan press.
River memberikan ponselnya kepada sang ayah. Dan di seberangnya pria itu berbicara dengan bahasa indonesia yang cukup terbata-bata tapi untuk orang asing itu cukup bagus.
”River … Ayah setuju, tapi keputusan ayah serahkan semuanya sama kamu.”
”Tentu saja river akan menerimanya.”
”Kamu harus istiqarah dulu.”
”Ini adalah hasil istiqarah river ayah.”
Ayah tersenyum menatap ke arahku. Pernikahan berlangsung secara virtual. Sebenarnya ibuku sedikit berat menerima keputusanku. Baginya pernikahan harus dilakukan secara langsung bukan seperti apa yang aku hadapi saat ini. Untungnya ayah bisa menjelaskan hingga ibu paham.
Aku memang belum cukup mengenal pria itu dengan baik. Tapi aku yakin dia adalah pria yang allah berikan untukku.
Malam harinya, ketika dia tengah istirahat. Dia menelfonku, kami berbicara cukup panjang.
”Namaku Sea.”
“Namaku River”
Kami tertawa satu sama lain.
”Aku ingin bertanya padamu?”
”Apa?”
”Kenapa kamu tidak menikah dengan perempuan palestina saja?”
Pria itu tersenyum ke arahku.
”Tujuan pertamaku menikah adalah ibadah, situasiku saat ini tidak memungkinkan untuk menemui perempuan disini. Tapi ketika bertemu fadlan dan aina, aku fikir dia akan membantuku menjalankan sunah ini. Aku tidak tahu pasti kapan kematian akan datang padaku, tapi setidaknya aku sudah menjalankan ibadah sunah untuk menikah.”
Aku tersenyum ke arahnya, dalam hatiku sangat ingin bertemu dengannya dan mengecup tangannya.
”Apakah bisa kita bertemu?”
”Tentu saja, insyaallah jika allah kabarkan kemenangan dan kebaikan akan datang. Aku akan kesana mengunjungimu … istriku.”
River menunduk cukup lama.
“Apa kau menangis?”
”Tidak, Aku hanya sedikit terharu.”
”Aku berdoa semoga engkau dan saudara-saudaraku disana dalam lindungan allah.”
”Aamiin, Istirahatlah river. Aku akan mengabarimu kembali. Aku mencintaimu.”
Panggilan telefon ditutup, setiap shalat malam aku selalu berdoa untuk keselamatannya dan saudara palestina disana.
Aku minta izin padanya untuk bekerja selama di indonesia. Aku adalah seorang psikolog di salah satu organisasi kemanusiaan.
Seminggu berlalu, genosida di gaza semakin meningkat. Seluruh warga palestina di minta untuk evakuasi termasuk yang berada di rumah sakit indonesia. Aku mengkahwatirkan aina, fadlan dan juga suamiku.
Aku berulang kali menguhubungi sea dan aina tapi tidak ada jawaban. Ada gangguan sinyal dan listrik disana. Aku tidak bisa tidur, aku membaca alquran dan shalat malam.
Satu jam berlalu handphoneku berdering. Suaranya serak dan nafas yang memburu.
”Assalamualaikum River”
”Walaikumsalam, apa semua baik- baik saja?”
”Ya … baik-baik saja.”
”Bagaimana dengan aina dan fadlan?”
”Mereka baik-baik saja, mereka akan segera di evakuasi untuk keluar dari gaza melalui mesir.”
”Apa kamu bisa ikut bersama mereka?”
Dia terdiam cukup lama, dia seperti menahan tangis yang cukup lama. Seharusnya aku tidak menanyakan demikian.
”Tidak River, aku harus tetap disini. Sungguh saudaraku di gaza sangat membutuhkanku. Walaupun aku ingin bertemu denganmu cukuplah allah yang mengobati kerinduanku padamu.”
Aku tidak bisa berkata apapun selain air mata yang seolah membalas semua ucapannya.
”Aku sangat memahamimu, aku senantiasa mendoakan dan menantikanmu. Tetaplah tegar dan kuat, jika pun tuhan tidak mempertemukan kita. Sungguh tuhan begitu mencintaimu. Seharusnya aku bangga di pertemukan dengan pria setangguh dirimu Sea.”
Kepulangan aina dan fadlan begitu kunantikan. Akhirnya mereka bisa kembali walau tanpa sea.
”Ini … suamimu memberikan ini untukmu.”
Sebuah kotak yang terbungkus dengan sehelai kain putih dan ada sedikit bercak darah disana.
”Apa ini darahnya?”
”Ya, sebenarnya dia ingin mencucinya dahulu. Tapi disana kami punya air yang terbatas.”
River menangis, mungkin jika orang melihatnya itu adalah tangisan tanpa sebab.
River membukanya dengan air mata yang terus mengalir. Ada sebuah foto keluarga, ada dirinya dan 7 orang lainnya. Di belakang foto itu tertulis hanya aku yang tersisa.
Dan sebuah gaun pengantin cantik khas palestina itu adalah hadiah untukmu untuk pernikahan kita.
“Aku harap gaza akan jadi tempat pulangmu River, Istriku.”