Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Tepat di bawah sang Dewa yang sedang memancarkan cahayanya ke seluruh jagat raya, aku tengah duduk termenung sendirian di sebuah kekosongan di ujung utopia, pembatas antara parade kebohongan dan gerombolan kebenaran yang penuh sesak dengan berbagai macam kekacauan dan kerusakan di bawahnya.
Udara dan angin dingin membelai tubuh kurusku dengan lembut dan mulai menyelimuti ku dengan pelukannya secara perlahan dalam kehampaan ini.
Dia mulai berbisik pelan pada telingaku, membius pikiranku dengan berbagai macam fantasi tak terbatas itu.
Setelah itu, gerombolan awan yang sudah menungguku untuk segera terjun dan berenang dengan bebas dalam lautan permen kapas itu mulai berubah menjadi barisan memori yang sudah mengantre untuk segera dibumihanguskan.
Satu persatu potongan demi potongan kenangan itu mulai merasuki ku yang kosong hingga membuatku pusing dan pandanganku mengeruh.
Aku berteriak keras kesakitan, dadaku sesak, kedua kakiku membeku, dan nafasku terhenti saat aku, kembali, melihat pemandangan itu. Pemandangan paling mengerikan dalam hidupku. Satu-satunya foto yang tidak akan pernah bisa terhapus dari galeri kehidupanku yang palsu.
Sekujur tubuhku menggigil karena mengingat hal itu. Kedua tangan kotorku bergetar hebat seakan akan terlepas dari tubuhku. Jantungku berpacu dengan sangat cepat hingga membuatku melepaskan seluruh emosiku yang sudah lama terpendam.
Segalanya runtuh saat itu, segala hal yang selama ini sudah aku percayai dan aku yakini sebagai hidupku, namun akhirnya hanya berakhir menjadi sebuah bencana tanpa akhir yang membuatku menjadi gila dan membantai semua orang yang kukenal, atau setidaknya pernah kukenal, sebelum darah mereka mengotori sekujur tubuhku waktu itu.
Penyesalan dan kebingungan tanpa akhir ini membuat pikiranku membeku hingga tak lagi bisa membedakan mana yang baik dan buruk.
Tidak ada lagi hitam dan putih dalam diriku, yang tersisa hanya warna kelabu yang ambigu.
Tidak tau lagi mana kanan dan kiri membuatku hanya bisa terus bergerak maju. Tanpa tau arah dan tujuan, aku hanya terus hanyut dalam arus ruang dan waktu yang kini membawaku ke dalam kekosongan tanpa batas.
Di ujung jalan ini, pada akhirnya, sepertinya, aku sudah menemukan jawabannya.
Jatuh.
Terjun bebas dan melayang di atas udara yang panas dan lalu kemudian menyelam dalam dalamnya lautan kenyataan yang rusak, kacau dan berantakan.
Selamat tinggal, Neverland ku yang manis dan palsu.
Aku datang, wahai kekasih gelap ku.
***
"Hai, selamat datang kembali, sayang."