Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Ayahku dimakamkan di tanah datar berselimut rerumputan hijau. Tidak bersebelahan dengan makam Ibu, juga tidak berdekatan dengan pusara Kakek. Ia dikuburkan jauh dari makam keluarga, di tempat yang menyimpan ribuan kegetiran.
Sepanjang hidupnya, Ayah gemar berkebun. Setiap akhir pekan, ia bangun lebih awal, membawa gunting tanamnya ke pekarangan kecil depan rumah. Di sana, ia merawat tanaman dengan penuh kasih. Entah itu memangkas perdu dan tanaman pagar, atau merawat bunga-bunga hias yang subur tumbuh mekar. Aku dan Ibu sering ikut membantu mencabut gulma atau menyiram pot-pot yang berjejer di teras.
Bunga Ayah yang paling favorit adalah mawar berwarna merah muda. Kelopaknya indah bercahaya di bawah sinar matahari pagi. Ayah menanam mawar-mawar itu di bawah jendela kamar tidur, setelah menikah dengan Ibu. Setiap kali bunganya mekar, Ayah akan memotong beberapa batang untuk ditempatkan dalam vas di meja rias Ibu.
Indah sepertimu, Ros, katanya lembut, kudengar sekali ketika Ayah meletakkan bunga-bunga itu. Aku ingat senyum Ibu saat memandangnya. Mawar-mawar itu adalah simbol cinta mereka yang abadi.
Ketika Ibu jatuh sakit parah, vas dari meja rias dipindahkan ke meja di samping tempat tidurnya di rumah sakit. Seolah-olah mawar-mawar itu bisa menggantikan genggaman tangan Ayah ketika ia harus meninggalkan Ibu untuk bekerja sepanjang hari. Setelah Ibu menutup mata untuk selamanya, Ayah menanamkan mawar yang sama di dekat makamnya. Seakan Ibu tetap bisa hidup di tiap tangkai, daun, dan kelopaknya.
Kami sering berkunjung ke makam Ibu, memanjatkan doa dan merawat mawar-mawar. Awalnya, hanya satu-dua kuncup bunga yang muncul. Namun seiring waktu, jumlahnya bertambah menjadi belasan. Mereka tumbuh subur, penuh warna, menciptakan kontras mencolok pada muramnya pemakaman. Setiap kali kami berziarah, kami akan disambut oleh lautan kelopak merah muda, wangi manisnya bercampur dengan harum pekat tanah pemakaman. Aku berdiri di sana, tenggelam dalam kenangan akan cinta orangtuaku, pengabdian diam-diam yang Ayah miliki untuk Ibu, bahkan setelah Ibu pergi. Aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku akan melakukan hal yang sama untuk Ayah ketika waktunya tiba. Aku akan memberikannya tempat peristirahatan yang sama indahnya, taman yang akan mencerminkan cinta yang telah ia curahkan pada setiap bunga yang pernah ia tanam.
Namun aku gagal memenuhi janji itu.
Ayah meninggalkan dunia ini empat tahun setelah Ibu tiada. Pada tahun-tahun pertama kematiannya, aku berusaha menumbuhkan kembali mawar-mawar di makam Ibu; mencabut batang-batang mawar yang telah mati dan menggantikannya dengan jenis yang sama. Aku berusaha memelihara tanaman itu hingga mereka kembali tumbuh dan mekar seindah ketika Ayah masih hidup. Beberapa pokok yang masih muda kutanamkan dalam pot kecil dan kuletakkan di pekarangan rumah, seperti yang Ayah lakukan ketika ia merawat kebun. Mawar-mawar itu mengingatkanku padanya, pada ketenangan dan keteguhannya dalam menumbuhkan sesuatu.
Setelah mereka memakamkan jenazah Ayah, aku memindahkan salah satu pot dari pekarangan ke makamnya. Itu adalah upayaku untuk membawa sepotong kehidupan yang ia cintai ke tempat ia kini beristirahat. Namun, setelah beberapa minggu, pot itu menghilang. Aku menggantinya dengan pot lain, tetapi pot itu terus lenyap. Suatu hari aku nekat menanam mawar itu langsung ke dalam tanah, tetapi, sebelum aku bisa mengeruk dalam, penjaga dan orang sekitar langsung menghentikanku. Dilarang merusak tanah makam, kata mereka.
Dalam asa yang hampir musnah, aku akhirnya menaburkan benih-benih mawar di sekitar makam Ayah, berharap alam bersedia mengambil alih tugas yang tidak bisa kutunaikan. Namun, bertahun-tahun berlalu, yang terlihat tetaplah hamparan rumput setinggi mata kaki. Rumput itu hijau dan lembut, tetapi bukan taman yang aku bayangkan. Bukan penghormatan yang aku ingin ciptakan.
Hari ini tepat sepuluh tahun sejak Ayah tiada. Aku kembali melakukan perjalanan ke makamnya, seperti yang aku lakukan setiap tahun, membawa beberapa batang mawar yang aku ambil dari dekat nisan Ibu. Kelopak bunga itu masih segar, masih membawa aroma yang mengingatkanku padanya, aroma yang menyimpan kenangan akan rumah, masa-masa sederhana ketika kami masih bersama.
Ketika aku mendekati pemakaman, aku melihat pemandangan yang sudah akrab, para peziarah berkumpul di pintu masuk. Kami datang dengan rupa berbeda, tetapi kami semua bersatu oleh kisah dan duka yang sama. Bukan hanya aku, para peziarah di sini juga selalu datang membawa bunga, persembahan kecil untuk mengenang mereka yang telah pergi.
Dari gerbang, aku melangkah menuju area pemakaman orang dewasa, menemukan tempat di bawah naungan pohon yang telah aku kenali selama bertahun-tahun. Di sana aku berlutut dan berdoa, meletakkan batang mawar dengan lembut ke atas makam.
Maafkan aku, Ayah. Aku tidak bisa memenuhi janjiku. Hanya ini yang bisa aku lakukan, membawakanmu mawar yang akan segera tertiup angin, melebur dengan tanah bersama bunga-bunga yang ditinggalkan peziarah lain.
Lama aku termenung. Merasakan angin lembut membawa aroma laut. Pikiranku melayang di antara kenangan dan masa yang akan datang. Langit semakin menggelap, arloji di pergelangan tanganku terus berdetak, mengingatkanku bahwa waktu tidak akan pernah menunggu. Pesawatku dijadwalkan berangkat besok pagi. Aku akan meninggalkan kota ini, meninggalkan segala kenangan yang terukir untuk melanjutkan hidup, memulai lembaran baru.
Dengan enggan, aku bangkit berdiri, meninggalkan mawar-mawar di tanah, meninggalkan janji yang tidak pernah bisa aku penuhi. Saat aku berjalan pergi, aku menoleh sekali lagi, memandang luasnya hamparan hijau yang membentang. Suasananya tidak berubah, sama seperti ketika pertama kali aku melangkah ke dalam. Batu penanda masih tersebar di sekitar makam, menjadi nisan tanpa nama. Doa-doa para peziarah masih menggantung di udara, bersalip-salipan dengan ingatan tentang gemuruh ombak yang menyapu belasan ribu jiwa yang terkubur di dalam tanah.
Mawar merah muda masih tergeletak di sana, salah satu tanda kehidupan yang pernah Ayah pelihara, keindahannya tidak segetir plang bertuliskan "Kuburan Massal Korban Tsunami 26 Desember 2004.”