Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bukan yang Terbaik
“Aku Dedes.”
Angin malam menusuk hingga ke tulang, membuat badan sedikit nyeri. Di bawah temaram sinar purnama, seorang perempuan berparas rembulan dengan baju kebesarannya tersenyum, mengulurkan tangan padaku. Aku mengernyit.
“Kau mungkin lebih mengenalku dengan nama depan ‘Ken’, bukan?”
Aku terbelalak, “Ke ... Ken Dedes?”
Perempuan itu mengangguk, kuterima uluran tangannya dengan canggung. Aku mengerjap-ngerjap lalu menoleh kesana-kemari. Berusaha mengenali tempat yang aku pijak. Sepanjang mata memandang, hanya ada pohon-pohon menjulang yang bergoyang tertiup angin.
“Aku disini karena pertanyaanmu.”
Aku menunjuk dadaku, “A ... Aku?”
“Kau selalu bertanya, bukan? Apakah keputusan yang kau ambil itu merupakan yang terbaik? Kau selalu bertanya di setiap malammu, kau selalu bertanya hingga menangis, kau selalu bertanya pada semuanya termasuk dirimu sendiri. Biar aku membantu, semoga bisa menjawabnya.”
Aku menelan ludah, dengan cepat memahami situasinya.
“Kau tahu? Aku juga bertanya pada diriku, apakah keputusan selama ini yang aku ambil merupakan yang terbaik? Keputusan demi keputusan yang membutuhkan pengorbanan, seperti yang kau tahu. Apakah seharusnya aku melarikan diri dari rumah hari itu, agar Tunggul Ametung tidak membawaku. Apakah seharusnya aku tidak pernah menjatuhkan hatiku pada Arok, agar tidak pernah ada pertumpahan darah oleh keris maut itu. Pertanyaan-pertanyaan itu selalu menghantuiku. Bagai bayangan, mengikutiku kemana pun aku pergi.”
Wanita yang mengaku sebagai Ken Dedes itu berhenti sejenak, mendongakkan kepalanya ke langit. Spontan, aku mengikuti gerakannya. Bintang-bintang berserakan di langit. Mungkin membentuk formasi, yang tidak aku mengerti.
“Pada kenyataannya, kita tidak pernah tahu apakah keputusan yang kita ambil itu terbaik ataukah tidak. Tidak, bukan itu hakikatnya. Kau hanya bisa mengambil keputusan yang kau anggap terbaik, dan bertanggung jawab atasnya.”
Aku menarik tatapanku dari langit, tertegun. Semilir angin menerpa kain panjang yang membelit tubuh Ken Dedes, membuat ujungnya berkibar mengesankan.
“Mau tidak mau, kita selalu dihadapkan oleh keputusan. Setiap hari, baik besar maupun kecil. Itulah hidup. Daripada sibuk memikirkan apakah yang kau pilih terbaik atau bukan, lebih baik tekankan pada dirimu, bahwa tidak apa-apa jika beberapa keputusan yang terlanjur diambil ternyata salah. Sungguh tidak apa-apa. Kau sudah berusaha.”
Mataku berkaca-kaca, aku mengangguk. Seolah terasa ada gumpalan yang keluar dari dadaku. Saat aku hendak mengiyakan ucapan itu dan berterima kasih, sebuah pusaran yang menganga mengukungku. Menyedot dan membuat tubuhku terasa dilemparkan.
Aku membuka mata lebar-lebar, tergagap. Cahaya matahari menerobos lewat sela-sela jendela. Aku terbaring di atas kasur, bersama tumpukan buku-buku yang berserakan. Kutepuk jidatku. Astaga, ternyata hanya mimpi.