Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Biru tak pernah paham mengapa muka kakaknya ketika mereka bermain bersama di taman komplek sebelah dan saat mereka pulang ke rumah kembali, selalu benar-benar berbeda.
Tinggi badan Biru belum genap satu meter saat itu. Kakaknya sudah sedikit lebih tinggi. Rok seragam sekolahnya yang mulai terlalu pendek, baru saja diganti kemarin. Sementara Biru masih mengenakan setelan baju kodok kotak-kotak warna kuning yang sama sejak enam bulan lalu.
“Belajar yang baik, ya?”
Hal-hal yang Biru ingat adalah senyuman lebar kedua orang tuanya, tuturan lembut mereka, sarapan hangat setiap lagi, bekal makan siang menggemaskan, makan malam penuh canda tawa, dan dongeng sebelum tidur.
Sampai suatu saat, truk pembawa barang berhenti di depan rumah mereka. Pria-pria mengenai kaos biru—semuanya sama—hati-hati menurunkan sebuah benda kotak transparan yang mereka bilang berulang kali, “Awas, jangan sampai pecah.”
Kotak itu diletakkan di ruang tengah. Kemudian diisi air, lalu sebuah hewan setengah lingkaran dengan belasan kaki-kaki panjang yang tipis.
“Akuarium? Ubur-ubur?”
Biru ikut tertawa renyah saat kedua orangnya menyambut barang baru di rumah mereka, juga hewan laut yang kata mereka kini menjadi bagian dari keluarga mereka.
Namun, Biru sedikit bingung.
Dia menoleh.
Kakaknya yang tak pernah tersenyum di rumah, mukanya tampak makin tak suka. Akan sesuatu yang… Biru tak yakin? Akuarium ini? Ubur-ubur? Rumah? Atau bahkan, Biru?
Namun, mengapa?
Biru yang begitu belia itu, lagi-lagi tertawa renyah saat kedua orang tuanya menunjukkan padanya, ubur-ubur yang bergerak-gerak. “Airnya pakai air laut.”
“Ubur-ubur itu adalah simbol keserakahan,” kata kakaknya, saat sepuluh tahun berlalu dan akuarium itu tampak makin membosankan dan membosankan di mata Biru—atau lebih tepatnya, dia tak mau tertarik dengan benda itu, bahkan dengan segala hal di hidupnya.
Biru, kala itu, yang masih begitu belia, yang begitu polos, yang senyuman lebarnya masih begitu murni, sesungguhnya perlahan-lahan merasakan ada yang salah. Dari setiap kebingungan-kebingungan yang terus-terusan muncul.
Ketika kedua orangnya pergi ke kantor untuk bekerja, tersisa Biru dan kakaknya seorang.
Ketika kakaknya kemudian juga pergi untuk kelas biola, kini tersisa Biru seorang.
Hanya deru air mengalir di akuarium.
Juga sesekali gerakan ubur-ubur yang tampak dari sudut matanya.
Biru duduk di sofa ruang tengah. Bangunan besar itu menjadi sunyi. Lampu-lampu tidak menyala. Meski siang hari, tetapi dengan pintu dan seluruh gorden jendela yang tertutup, hanya sedikit cahaya matahari menyelinap dari celah-celah.
Menerangi Biru barang sebaris-sebaris.
Anak itu duduk dengan melipat kedua kaki, memeluk lutut. Kepalanya menunduk, tenggelam di tubuhnya sendiri.
Biru tak paham.
Biru sama sekali tak paham.
Orang dewasa membingungkan.
Orang dewasa begitu rumit.
Apa itu dunia? Bagaimana semuanya berjalan?
Dari semua hal rumit yang belum diketahui anak itu. Setidaknya, dia merasakan… sesuatu yang mulanya hanya menimbulkan bingung dalam pikiran, kini telah menjadi jelas di hatinya.
Dia takut.
Senyuman, tuturan lembut, hadiah-hadiah tiap kali dia berbuat baik, dari kedua orang tuanya, tak lagi membuat Biru ikut tersenyum. Muka mereka mulai buyar.
Tidak nyata.
Aneh.
Semuanya… palsu?
Biru biasanya menangis, tetapi dia tidak menangis. Kepalanya terasa berat, hatinya begitu tak nyaman. Siapa sebenarnya dia? Apa sebenarnya tempat ini? Siapa dua orang pria dan wanita yang selalu memperhatikannya selama ini?
Biru… apakah benar seharusnya berada di sini?
Apakah dirinya… memiliki tempat?
Daun pintu yang terbuka kasar, dibanting, mendengung kencang. Itu kakaknya, memegang erat kedua tangan Biru. Anak lelaki kecil tersebut mengangkat kepala, menatap muka kakaknya, tak begitu jelas dibalut gulita. “Larilah dari tempat ini… Biru,” dia seperti hendak melanjutkan kata-kata, tetapi tiba-tiba terhenti, dan Biru tak mengingat sisanya.
Kakaknya tak pernah menjelaskan apa pun.
Namun, saat orang-orang memakai jas menarik tangannya—juga kakaknya, dan kakaknya dan menunjukkan perubahan ekspresi, masih kesal, tetapi tatapannya tertuju pada orang-orang memakai jas itu, tanpa sedikit pun menoleh kepada kedua orang tuanya, Biru agaknya mulai paham.
Ada sangkut pautnya.
Walau dia tak paham apa itu.
Ruangan besar tempat mereka kemudian diminta duduk, terasa asing. Luas, tetapi orang-orang yang duduk di depan, samping, dan lebih banyak lagi di belakang, seperti membuat sepetak ruang ini menciut.
Orang yang duduk di depan, paling tengah, mukanya begitu marah. Dia melantangkan nama dua orang—yang Biru mengenalinya sebagai orang tuanya—dengan nada kasar. “Mereka ada aib terbesar di sini!”
Seruan lain bersahut-sahutan. Biru menoleh ke sana kemari, ke setiap suara yang muncul. Hampir tidak jelas. Kalimat demi kalimat bertubrukan. Namun, yang pasti, semuanya marah.
Biru tak paham mengapa mereka marah.
Namun, seperti dia juga paham.
Di saat kebingungannya belum selesai, dia makin terkejut saat dua orang di dekat pintu—dia baru sadar keberadaannya dan siapakah mereka—meninggalkan ruangan. Bersama dua orang berseragam—Biru tak yakin baju apa itu—di belakang mereka.
“Lalu, anak-anak itu bagaimana?”
Biru kembali menolah. Sedetik barusan begitu sunyi—dia hampir tak menyadarinya. Suara lain belum-belum sudah terdengar lagi dan dia lagi-lagi menoleh. Wajah bulatnya menggemaskan, sedikit memelas, dengan tatapan setengah hampa.
“Kalian, mau ikut?”
Kakaknya melemparkan penolakan singkat. Biru tak sepenuhnya paham yang dikatakannya selain, “tidak.” Lantas berbalik, turun dari kursi, lalu berjalan menuju pintu belakang ruangan.
Biru memandang bolak-balik antara kakaknya dengan beberapa orang berjas masih tersisa di ruangan, sebelum cepat-cepat turun dari kursi. Menyusul kakaknya.
Dia juga pergi.
Tak ada penjelasan lain yang didengar Biru semenjak hari itu—bila ada pun dia tak mau mendengarnya. Meski demikian, dia perlahan-lahan merasa seperti bisa memahami isi kepala kakaknya. Mungkin itu yang dinamakan ikatan para saudara.
Dua belas tahun berlalu dan sialnya dia masih terjebak di rumah yang masih sering dia biarkan gelap hanya dengan satu dua sinar matahari dari celah-celah. Lampu-lampu baru akan menyala saat lelaki lain seumurannya datang. Hanya untuk kemudian duduk di depan benda transparan dengan deru air yang tak pernah absen sejak dulu.
Akuarium.
“Undur-undur….”
Biru melirik malas. “Itu ubur-ubur.”
“Kau tak ingin memelihara undur-undur juga?”
“Berisik.” Biru melemparinya dengan bantal yang dia ambil sembarangan dari sofa ruang tengah. “Pulanglah! Aku tak ingat memelihara seekor lumba-lumba.”
“Kau bilang ini ubur-ubur….”
“Yang kumaksud itu kau.”
“Hei—”