Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku berjalan dengan langkah gontai menyusuri jalan setapak yang di kelilingi oleh pepohonan. Jujur, aku sudah merasa tidak sanggup.
Mencari makanan dan air di tempat ini begitulah sulit. Aku sampai harus memakan lengan kanan ku sendiri untuk memberhintikan pemberontakan caci dalam perutku.
Air?
Aku cukup beruntung karena menemukan genangan dibawah pohon yang daunnya telah rontok. Aku sangat bersyukur, sangat! Namun itu 7 hari yang lalu.
Kini dengan perut yang lapar, bermodal satu tangan dan dua kaki aku terus berjalan. Badanku penuh luka. Jangan tanya soal mata kiri yang ku tutup dengan kain dan leherku yang bersimbah darah.
Itu hanya sebuah upaya. Upaya dariku yang sia sia.
Dulu aku begitu naif. Sebagai seorang pendekar, aku begitu bergaih ketika mendengar bahwa semua pendekar dari cardivia dibuatkan sebuah sayembara.
Sayembara untuk mengambil sebuah mustika berbentuk kalung yang dijaga oleh seekor naga dan raksasa tengkorak bermata satu.
Awalnya semua berjalan seperti biasa. 120 pendekar dari penjuru kerajaan kini bersamaku berjalan untuk menghabisi penjaga mustika itu.
Aku masih ingat jelas, salah satu pemilik guild terbesar di cardivia menjdai pemimpin kami semua. Dibawah komandonya, kami sepakat bahwa hadiah yang akan di dapat dari raja akan kami bagi rata.
Namun....
Semua berubah ketika mustika itu telah berada di tangan kami. Sebagaimana harta, dia selalu membawa kebahagiaan serta kemalangan dan benar saja.
"Kau yakin akan memberikan ini pada raja?"
Pertanyaan sumbang itu membuat kami terbagi menjadi dua kelompok. Awalnya ini hanya perdebatan sampai saat senjata diangkat, semuanya berubah.
Kami saling bunuh di tempat itu, suara dentingan pedang dan jerit kesakitan menggema jelas di dinding gua yang luas ini.
Awalnya aku mencoba melerai mereka, namun itu sia-sia. Aku pernah mendengar Kakekku berkata bahwa bila kata tak lagi mampu memberi pengertian, maka kekerasan dapat menggantikannya.
Akhirnya aku ikut bertarung dan dengan hampi kehilangan nyawa, aku berhasil merenggut nyawa mereka semua. Sebagai imbalannya, kini kalung itu ada di tanganku.
Aku akhirnya berjalan keluar dari tempat penuh darah itu. Sebelum melangkah lebih jauh, aku melingkar kalung itu di leherku agar tetap aman dan tidak hilang.
Namun tiba-tiba kalung itu menyatu dengan tubuhku dan hanya menyisakan bandul yang mencuat keluar di depan dadaku.
Aku mencoba menarik bandul itu dengan tangan, namun bandul itu tidak mau terlepas. Aku kemudian mengambil pedangku, ku coba lagi, namun hasil tetap sama.
Bahkan sampai hari ini benda itu masih menempel di badanku. Benda sialan yang membuat ku harus seperti ini. Bisa terluka, tetap merasa lapar dan haus, tetap merasakan kantuk ataupun lemas namun tidak bisa MATI!
Aku tidak tahu, siapa yang menipuku. Raja itu? Sang putri? Diriku sendiri? atau Dewa?
Jika Dewa menciptakan manusia untuk menebus dosa di kehidupan mereka dikehidupan lampau sebelum mereka akhirnya mati.
Lalu apakah dosaku begitu besar sehingga aku masih hidup sampai saat ini?