Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Pernahkah kalian membayangkan hidup tanpa warna? Apakah seperti makan tanpa rasa? Apakah seperti berjalan tanpa arah? Hidup seperti itulah yang aku alami sebelum aku menyukai sebuah warna.
Aku masih ingat kejadiannya. Aku sedang bermalas-malasan di dalam kamar. Dari luar ruangan, aku mendengar ibuku sedang mengoceh mengeluhkan semua hal. Kebanyakan tentang aku yang tak kunjung menghasilkan uang.
Listrik belum dibayar. Utang sudah ditagih. Sudah lulus kuliah tapi tidak berguna. Ilmu filsafat dari kampusmu itu sia-sia. Aku tentu kesal dikata-katain seperti itu. Aku pun keluar kamar. Bukan untuk menentang Ibu, melainkan menghindarinya.
Ibu tentu saja tidak membiarkanku begitu saja. Dia masih saja mengomeliku. Sebenarnya aku sakit hati mendengarnya. Tapi, aku harus menahan diri dengan sekuat tenaga untuk tidak membalas makian itu.
***
Berada di luar rumah dan menghirup udara segar mulai mengenyahkan kekalutan dari pikiranku. Aku tidak tahu sudah berapa lama aku berjalan. Aku melewati taman dan melihat kursi. Tiba-tiba, aku merasa perlu duduk dan beristirahat sebentar.
Pada saat itulah, aku menemukan sebuah koran. Surat kabar yang tergeletak di atas kursi itu menampilkan sebuah gambar. Tidak pernah aku tertarik pada sesuatu sebesar ketertarikanku terhadap gambar itu. Jangan kalian bayangkan gambar itu adalah potret yang paling indah.
Gambar itu melengkapi judul besar sebuah berita. Boro-boro warna, cetakannya saja hitam dan putih. Tidak ada warna lain. Namun, di situlah aku merasa pentingnya warna dalam hidup ini. Jika ada warna itu, gambar tersebut pasti sempurna. Komposisi gambar itu memanjakan mata. Ekspresi obyek pada gambar itu ibarat sebuah rusa yang tertimpa cahaya lampu depan sebuah mobil. Menakjubkan.
Ada beberapa bagian yang kabur, - atau sengaja dikaburkan -, aku tidak begitu yakin. Padahal pada bagian tersebutlah detail penting dari gambar tersebut. Aku yakin kalau gambar itu tidak samar, keindahannya semakin memancar.
Ibarat pijar lampu menerangi urat saraf, sebuah ide melayang-layang di kepalaku. Aku harus menyelesaikan gambar itu. Aku harus melihat imaji itu dalam bentuk yang nyata. Aku harus memulaskan warna merah terhadapnya.
***
Awalnya aku mencari siapa kreator utama yang mampu menciptakan gambar seindah yang aku lihat dulu. Aku ingin berkolaborasi dengannya. Sayang sekali, susah membuat janji temu dengannya. Bukan hanya dia tidak mau ditemui. Penjaga yang mengawal keberadaannya banyak sekali. Aku telah meminta izin. Tapi, tidak pernah kunjung diberikan.
Lalu, satu kabar mampir ke telingaku. Sang kreator ditemukan tewas karena dikeroyok. Aku marah. Aku belum sempat menyempurnakan mahakarya sang kreator tersebut. Aku kembali kehilangan gairah. Tidak mau berbuat apa-apa, hanya mampu meringkuk di atas tempat tidurku.
Tiba-tiba, pintu kamarku terbuka. Ibu yang masuk ke ruangan pribadiku itu. Di depan pintu, Ibu menatapku dengan mata yang terbuka lebar. Tidak perlu seorang jenius untuk menerjemahkan pandangan itu sebagai pandangan kebencian.
Anak tak berguna. Itu katanya. Bisanya cuma jadi beban orangtua. Itu alasannya. Anjing saja lebih bermanfaat dibandingkan kau. Itu makiannya.
Mataku tertumbuk lurus ke arahnya.
Masih bisa menantang kau rupanya? Dia tidak terima karena aku tidak menundukkan kepala. Kau lebih rendah dari seekor babi. Itu ceracaunya.
Omelan itu tidak juga berhenti, meskipun aku sudah tidak lagi mengerti kata-kata yang keluar dari mulutnya. Pasalnya, aku lebih memusatkan perhatianku pada hal lain.
Bola mataku tertuju kepada satu arah. Gambar tanpa warna yang tertempel di bagian belakang pintu kamarku. Gambar yang meskipun tidak menggoreskan warna, membuat aku ingin menorehkan warna favoritku kepada imaji itu.
Aku tidak perlu berkolaborasi dengan penciptanya, begitu pikirku. Aku bisa menciptakan mahakaryaku sendiri. Aku tersenyum membayangkan masa depan yang lebih indah dengan hidup yang jauh lebih berwarna ketimbang nasibku saat ini.
Aku berdiri. Tubuhku yang tinggi menjulang membuat Ibu harus mendongakkan kepala demi bisa menatapku. Aku tersenyum samar sebelum mendaratkan tamparan ke pipinya yang mulus itu.
Terkejut dengan aksiku, Ibu berusaha memberontak. Tapi, aku jauh lebih cepat karena segera mendorongnya jatuh. Sebelum membekap mulutnya dengan bantal, aku menyaksikan pemandangan paling indah yang pernah aku lihat. Ekspresi Ibu seperti rusa yang tertimpa cahaya lampu depan sebuah mobil. Menakjubkan.
***
Aku melihat imaji tanpa warna yang selama ini menjadi penyemangat hidupku. Gambar dari sebuah surat kabar yang merupakan foto liputan kasus pembunuhan. Berulang kali aku membandingkannya dengan kenyataan di depanku. Posisinya sudah cocok.
Aku puas menyaksikannya. Tidak ada lagi racauan yang mengganggu kedamaian hari-hariku.
Bercak merah yang meninggalkan jejak di berbagai tempat pasti akan disamarkan apabila imaji itu tercetak pada sebuah surat kabar. Aku tersenyum. Warna merah yang sempurna. Warna kesukaanku. Sebuah mahakarya.
Sekarang hidupku penuh warna.
***