Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Tak pernah pulang bukan berarti dia sudah tiada, atau sengaja pergi meninggalkan keluarga demi kehidupan sendiri yang lebih baik. Tapi...
_____
Dahulu, saat Bapak akan meninggalkan keluarga kecilnya, Mamak menangis. Mereka terlibat perdebatan kecil di ruang tengah, sementara aku pura-pura tertidur di bilik kecil bersama ketiga adik-adikku yang satu pun belum ada yang berusia enam tahun.
Aku tak paham, mengapa Mamak menangis, padahal kepergian Bapak dilandasi niat yang baik, dia ingin mencari makan untuk kami. Namun saat itu, Mamak benar-benar mencegah Bapak. "Sayang, diamlah di sini, kita masih punya persediaan makanan, di luar berbahaya," Mamak memeluk erat lutut Bapak.
Bapak tentu punya logika yang lebih daripada Mamak. Mereka tidak bertengkar, tidak seperti kebanyakan pasangan yang baru menikah, punya anak, lalu bertengkar karena mahalnya susu bayi. Mereka bukan pasangan yang seperti itu. Bapak sudah memutuskan, maka jika Bapak telah mutlak bersuara, semut di lantai pun akan tunduk menerima keputusan Bapak.
Maka pada malam itu, Mamak mengusap air mata, tak sudi sebenarnya dia melepas Bapak. Bapak tegap berjalan masuk ke bilik tidur keempat anaknya, aku lantas memejam mata, pura-pura tertidur. Bapak mendekat, dia meneliti mataku, lalu menggeleng kepala takzim, lantas mengelus kepalaku beberapa kali hingga terasa mengantuk dibuatnya. Bapak juga melakukan hal yang sama pada semua anaknya.
Kantuk berat lantas mendorongku lebih cepat menuju mabuk khayalan, mengantarku pada euforia yang menenangkan, terbuai dengan mantra kecil Bapak, hingga terpenjara semalam, lantas sadar saat Bapak benar-benar pergi. Satu-dua hari, tidak ada kabarnya, dua-tiga minggu bagai ombak mengguyur pasir yang terjal—benar-benar menghilang. Bapak benar-benar terjebak dalam pikul tugasnya sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab, hingga dia lupakan haknya sendiri untuk hidup.
_____
Sudah lebih lima tahun Bapak pergi. Lama sangat mencari makan. Saat ini aku berusia dua belas tahun, mulai mengerti sebab lamanya Bapak kembali. Adik-adikku berperingai layaknya anak yatim. Mamak seperti janda yang ditinggal mati. Namun aku tak pernah ada pikiran bahwa Bapak telah berakhir secepat itu. Dalam pandanganku, Bapak itu kuat, bukan semata-mata karena aku anaknya. Dahulu, saat kelahiran adik terakhirku, rumah sakit benar-benar sulit ditemui, kebanyakan sudah hancur.
Bapak mencari pos kesehatan dari ujung-ke ujung wilayah, hingga dia menjumpai sebuah pos kesehatan setelah menggendong Mamak sejauh lima belas kilometer. Aku tidak ada di sana, karena sedang menjaga kedua adikku yang satu pun belum genap empat tahun. Tapi bualan lebih dari satu orang tentang seberapa tangguh Bapak sudah memberiku sebuah bukti bahwa superhero memang ada di dunia nyata.
_____
Malam tahun baru. Saat aku, Mamak dan ketiga adikku sedang sembahyang bersama, berjama'ah seperti yang biasa kami lakukan bersama saat Bapak masih ada.
Dalam kekhusyukan ibadah, seseorang dari luar membunyikan lonceng sambil berlari, berteriak bahwa 'mereka' datang.
Aku mempercepat sembahyang, saat itu tahiyat akhir, lantas saat berakhir shalat isya' berjamaa'ah, aku segera menggandeng ketiga adikku, Mamak di belakang turut lari bersama menjauh dari puluhan mobil baja, kami berlari di bawah hujan rudal dari dua sisi yang saling menghujam.
Selayak pesta kembang api malam tahun baru, bukannya menikmati momen indah bersama keluarga sambil menunjuk-nunjuk ledakan kembang api dengan beragam bentuk unik. Kami terus berlari dan tak mau sekali pun menengok kembang api itu, sebab terlalu membuat adik-adikku trauma.
Sejauh mana kami berlari? Tak tahu, namun mereka mampu mengejar, satu-persatu orang-orang yang berlari bersama tumbang, hingga menyisakan aku, Mamak dan ketiga adikku. Sudah pasrah, seorang tentara mulai membidik kemari. Tamat sudah. Namun aku tetap lari, menyuruh Mamak lebih cepat, memberi ketiga adikku supaya digandeng Mamak.
Aku mengipir di belakang Mamak, mulai menyaksikan Mamak dan ketiga adikku masuk ke dalam hutan.
Senang sekali rasanya, Mamak dan adik-adikku selamat. Tidak merasakan tembakan yang menghunus lambung dan usus seperti yang dirasakan tetangga-tetanggaku dan aku, mereka beruntung.
_____
Rasanya ditembak tidak separah yang dibilang banyak orang, rasanya hanya seperti suntikan di pos kesehatan, tidak lebih. Rupanya orang-orang hanya menakut-nakuti. Aku tidak merasa sakit.
Bohong, mana mungkin peluru baja ini tidak semenyakitkan yang dikira. Hingga aku berbalik kepala, menengok Bapak sedang mendekapku, dia tersenyum ramah, mengelus rambutku.
Kupandang perutnya, penuh luka tembak, bahkan sampai ke dada.
Walau dia tidak kembali dengan makanan, namun dia kembali di waktu yang tepat, untuk melindungi keluarganya, dia benar-benar seorang superhero, laki-laki yang tangguh. Dia baik hati menamiku untuk tidur, ah nostalgia saat aku berusia tujuh tahun, saat aku berpura-pura tidur setelah Bapak memutuskan akan pergi dari rumah selamanya. Bapak memang senang mengelus rambutku dan menungguku tertidur di ranjang. Mungkin kali ini berbeda, sebab tanah ini akan selalu menjadi ranjang terakhirku.