Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku masih tak percaya mulutku bisa dengan mudahnya meluncurkan kalimat demi kalimat dusta di hadapan Toyib.
“Sebelumnya aku minta maaf, Yib, mungkin ini bukan waktu yang tepat, tapi..”
Toyib buru-buru memotong kalimatku. “Jika ada urusan dengan almarhum yang belum terselesaikan katakan saja, Lis, tak usah ragu.”
“Eee, anu, tiga bulan yang lalu almarhum Bang Tohir pernah meminjam uang padaku.” Ucapku sungkan.
“Berapa Lis?”
Aku meneguk ludah. Toyib mendekatkan tubuhnya padaku, bersiap mendengarkannya dengan seksama. Aku menyebut nominal dalam bisikan, kemudian Toyib mengangguk dan masuk ke dalam rumah.
Aku masih menunggu dengan perasaan bersalah. Ingin rasanya aku membatalkannya, tetapi sudah terlanjur basah. Jika tidak begini bagaimana nasib anak dan istriku di rumah. Sebenarnya akulah yang memiliki hutang pada almarhum, akulah yang berkewajiban menyelesaikan perkara ini dengan Toyib, sekarang malah aku yang menambah perkara.
Biarlah sekali ini aku jadi pembohong. Cukup satu kali saja. Setelah ini aku akan bertobat.
“Lis!” Toyib mengguncang bahuku. Rupanya sudah sedari tadi ia memanggil.
“Ini uangnya." Toyib menyodorkan amplop tebal. "Aku sangat bersyukur kamu bicara langsung hari ini, sebelum jenazah Bang Tohir dikebumikan.”
“Ah..i..iya, Yib.” Aku mengangguk tak berani beradu pandang dengannya.
“Sekali lagi aku mohon maaf jika almarhum pernah melakukan hal yang tidak berkenan di hati kamu, Lis.”
“I..iya, Yib.”
“Sekarang aku mau ke dalam dulu mengurus jenazah Bang Tohir.”
“Aku pamit dulu, Yib. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam.”
Langsung saja aku pulang. Dalam perjalanan langkahku terasa sangat berat. Rasanya ingin berbalik arah dan mengatakan yang sebenarnya, tetapi jika difikir-fikir aku memang harus mengambilnya. Toyib hidup berkecukupan, sementara kondisi ekonomiku sangat memprihatinkan.
Semua ini kulakukan demi keluargaku. Seseorang akan melakukan apapun demi keluarganya, termasuk hal-hal di luar batas. Tak peduli yang ia lakukan benar atau salah. Karena bagiku salah besar jika aku membiarkan keluargaku menderita. Biarlah aku menanggungnya sendiri seumur hidupku hingga tiba waktu untuk menebusnya. Aku hanya berharap cepat dapat rezeki lalu mengembalikan uangnya dan meminta maaf pada Toyib, sehingga dosa ini tak terbawa hingga ke akhirat.
***
Penipu tetaplah penipu. Tak peduli alasan apapun yang mendesak untuk melakukannya.
Suara itu terus bergema dalam kepalaku.
“Bapak tidak ikut mengantar jenazah Pak Tohir?” Suara istriku yang siap berangkat ke pemakaman membuyarkan lamunan. Aku hanya menggeleng tanpa semangat.
Ingatanku bergerak ke masa lalu di mana Pak Tohir masih hidup. Beliau orang yang baik, semasa hidup beliau selalu membantu sesama yang kesulitan, termasuk aku. Sekarang justru aku membalas kebaikan beliau dengan cara seperti ini.
Untuk menghibur diri sendiri aku berfikir bahwa almarhum pasti akan memahami kesulitanku. Beliau tentu akan memaklumi tindakanku yang berdasar keterpaksaan ini.
“Ayaaaaaah, ayaaaaah..!!!” Teriak anakku dari halaman dan menerobos pintu depan.
“Ada apa, Nak?” Tanyaku kaget.
Ia menghampiriku. Seragam sekolahnya basah oleh keringat.
“Ppp, paakkk...Tohir..mati..” tutur anakku dengan nafas ngos-ngosan.
“Iya, ayah tahu. Tadi pagi juga melayat ke sana. Apa jenazahnya sudah dikebumikan?”
“Pak Tohir mati suri, Pak. Hidup lagi. Tadi pas mau dimasukkan ke liang lahat, mayatnya bergerak-gerak. Sekarang Pak Tohir sudah digotong pulang ke rumahnya.”
Bagai tersambar petir di siang bolong. Tak pernah aku sekaget ini dalam hidupku.