Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku sudah lama suka dengan seseorang, teman kelasku. Dia cantik, pintar, wangi, pokoknya idaman setiap laki-laki.
Hanya saja, aku punya kekurangan, yaitu tidak berani mengungkapkan perasaan. Rasa itu timbul sejak dua tahun yang lalu, saat kelas 10.
Hari kelulusan sebentar lagi akan tiba, hanya menghitung hari. Kebanyakan teman-temanku sudah merayakan, mereka mengunggah postingan kelulusan di story instagram, sebagian meng-upload story galau karena pusing akan ke mana setelah lulus sekolah.
Dan orang yang aku taksir juga melakukan hal yang sama, dia meng-upload story galau, bedanya di whatsapp.
Sejujurnya aku jarang berkomunikasi dengannya, minim sekali malah. Paling-paling hanya bertegur sapa, dan berbicara saat kerja kelompok. Dan hari ini, aku kepikiran untuk menguji adrenalinku, mencoba menembak dia.
***
"Emangnya berhasil, Van?" Aku mengirim pesan kepada seorang teman, teman dekatku.
"Yakin aja, berhasil kok!"
"Aku hanya takut ditolak," jawabku.
"Bro, pegang kata-kataku! Hidup yang tak pernah dipertaruhkan, tidak akan pernah dimenangkan, jadi kau harus mempertaruhkan sesuatu untuk mendapatkan apa yang kau inginkan." Temanku berubah menjadi seorang filsuf seketika, atau mungkin lebih mirip motivator MLM yang sedang mencari member.
"Kamu benar, Van. Terus apa yang bisa aku lakukan?"
"Gampang, ikutin aja caraku, pasti berhasil." Cukup lama Evan—teman dekatku—mengetik, dan cukup lama juga aku membaca saran dan nasihatnya.
"Kamu pandai kalau tentang romantis-romantisan. Tapi kenapa kamu nggak punya pacar?" Aku memuji dia, sekaligus heran, karena jika dia mengerti pola untuk menghasilkan sesuatu, seharusnya dia sudah mendapatkan hal itu, tapi dia tidak punya—pacar.
"Kamu pernah dengar pepatah, 'pelatih tidak bermain' kan?" Evan mengetik dengan yakin.
"Itu cuman klise."
"Ya, apapun itu, yang penting apa kamu mau bisa dekat dengan Dila?"
"Ya."
***
Hari kelulusan tiba, acaranya berada di hotel bintang dua, standarlah untuk ukuran anak SMA. Acaranya meriah sampai siang hari, bahkan teman-temanku masih pada bercakap-cakap walau cuaca semakin terik.
Tibalah waktu yang kurencanakan, saat Dila seorang diri di dekat balkon hotel, aku mendekatinya. Sudah lama aku mengamatinya.
"Dila, teman-temannya ke mana?"
"Pergi."
"Kamu nggak ikut mereka?"
"Nggak."
"Kenapa?"
"Kamu kepo banget ya, kita aja nggak saling kenal."
"M-maaf, Dila, aku cuman nanya aja."
"Oh ya udah, aku di sini lagi nunggu orang."
"Siapa?"
"Dila, kamu ngapain sama dia?" Seorang laki-laki secara tiba-tiba muncul di belakang kami, dia anak murid terkenal, ganteng, tinggi dan seorang MVP liga basket SMA tahun kemarin.
"Rian, ini nggak sesuai yang kamu bayangkan. Dia cuman datang dan nanya ke aku, selebihnya nggak ada." Dila tampak panik.
"Oh gitu, aku percaya sama kamu kok, sayang," kata Rian yang rupanya kekasih Dila.
"Makasih ya, sayang, aku nggak akan pernah mengecewakanmu." Mereka berdua bergandengan tangan, menatap keluar balkon sambil menunjuk-nunjuk setiap kendaraan yang lewat, mereka tertawa, riang bersama. Sementara aku hanya menyaksikan di belakang.
Seharusnya aku sadar sejak awal, Dila itu gadis yang pintar, cantik dan wangi, tentu saja laki-laki akan banyak mendekati dia. Bukan hanya aku saja yang berhak mencuri perhatiannya.
***
Aku menemui Evan di loby hotel, saat bertemu dengannya, aku menarik dia ke toilet dan menyumpahi dia atas nasihat basi 'pelatih tak bermain' ini.