Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"nanti-nanti kalau bisa, kita bisa ngobrol di depan rumah. Aku minum teh dan kamu minum kopi," kata Lela, isi kepalanya dipenuhi khayalan romantis.
Amir menyalakan rokoknya, kebetulan mereka berdua duduk di luar ruangan. "memang perempuan selalu berkhayal tentang masa depan nanti. Padahal masa sekarang atau realitanya, kita harus melewati masa-masa sekarang. Kayak masa sulitnya dulu," ucap Amir, dirinya sudah pengap dipenuhi khayalan-khayalan Lela.
"tapi, buatku gitu. Khayalan masa depan membuatku jadi semangat menjalani hidup," timpal Lela, pendapatnya tidak ingin dikalahkan.
"tapi, nanti bisa dikecewakan."
Lela bergeming mendengarnya dan ia berusaha tidak tersindir. Dirinya sudah tidak ingin dinilai sebagai perempuan yang lemah, sedikit-sedikit dibentak menangis.
"kenapa tersindir?" tanya Amir dengan nada yang meninggi.
"tidak...tidak..." gusar Lela. "aku bingung, kenapa kamu tidak membayangkan apa yang harus kita lakukan atau hal-hal romantis yang bisa terjadi di masa depan?"
"buat apa?"
"buat rumah kita nanti," tutur Lela.
"kamu bersikukuh harus membayangkan rumah kita nanti," kesal Amir lama-kelamaan.
"iya, aku nggak perlu rumah mewah, barang-barang branded atau aesthetic. Poin pentingnya adalah aku sama kamu, kita bangun kebahagiaan, berduaan di teras rumah atau kita bikin ayunan," ujar Lela, ia berusaha menjelaskan harapannya di masa depan.
Amir menghela nafas, ia menggebrak meja dengan keras sampai air di dalam gelas ikutan tumpah. "aku sudah muak dengan harapan kamu ini. Lagian siapa yang mau gitu sama kamu, aku benci....benci...benci sama kamu, Lela," teriak Amir sampai orang-orang tertuju padanya.
Lela menutup mulutnya, ia tidak percaya dirinya disentak dengan kasar. Amir pergi meninggalkan Lela sendirian. Ternyata selama ini, impian tentang rumah hanya dibangun oleh khayalan Lela sendiri, tidak dengan Amir.
***
Di bangku sebelah cafe, terdengar ada seorang perempuan yang menceritakan khayalannya tentang rumah dan kehidupan di masa depan dengan kekasihnya. Di setiap meja diduduki orang berpasang-pasangan. Hanya ada seorang lelaki terpojok sendirian, kedua tangannya yang melemah, kulitnya yang sudah mengendur, kedua matanya yang memiliki rabun jauh, tapi tidak dengan pendengarannya.
Lalu, seorang perempuan yang tadi bercerita tentang khayalan masa depan, ia berjalan menuju westafel untuk mencuci kedua tangannya. Lelaki tua itu menghampiri perempuan yang masih belia, dan berkata, "teruskan cerita khayalanmu tentang rumah dan masa depan sampai khayalanmu terwujud."