Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Tidak pernah terjadi sampai hari itu.
Di mana tidur siangku tidak lagi nyenyak. Gadis-gadis begitu berisik membicarakan anak pindahan yang berparas lebih cantik dari mereka—takut kekasihnya berpaling hati.
Gadis itu menempati bangku di deretan paling depan di ruang kelas sebelah. Menurutku, kalau tidak pintar, pasti matanya minus.
Sebentar saja aku pernah memperhatikannya, saat dia berebut gorengan di kantin bersama murid-murid lainnya. Meski badannya kurus, dia tidak mau mengalah sedikit pun. Aku yang biasanya juga berburu gorengan, langsung kenyang melihatnya kelaparan begitu.
Rambutnya yang lurus panjang seketika kusut, sepertinya memang ada yang sengaja menjambaknya sebentar. Kasihan. Salah apa gadis itu sampai gadis-gadis di sekolah ini mendadak membencinya?
Apa hanya karena dia cantik? Atau karena mata hitamnya yang indah itu? Atau bulu matanya yang lentik—ada yang bilang itu palsu.
Baru-baru ini dia ditunjuk sebagai kandidat perwakilan sekolah untuk LKS—Lomba Kompetensi Siswa. Bertambah kencang angin yang menerpanya. Baru pindah, digosipkan, diberi tanggung jawab, digosipkan lagi, ikut ekskul, digosipkan lagi ....
Ohiya. Namanya Zia.
Begitu banyak yang kudengar tentangnya akhir-akhir ini. Ada yang bilang dia tiba-tiba keluar dari ekskul modelling karena bullying.
Zia yang tadinya ceria, berubah menjadi pemurung. Dia tidak bisa lagi kutemukan di bangku deretan depan, atau di kantin berburu gorengan.
Zia kabarnya juga mengundurkan diri dari kandidat LKS tanpa alasan yang jelas.
Ke manakah gerangan Zia?
Hari ini, seperti biasa, setelah mengambil jeda tidur siang sejenak di kelas, aku berniat menghabiskan sisa hariku di sebuah ruangan kecil di seberang tempat orang-orang biasa mengambil wudhu. Ruangan yang lemarinya dipenuhi piala, entah tetap ataupun bergilir. Ruangan di mana kau harus mengetuk pintu tiga kali, hormat, lalu mengentakkan kaki sekali sebelum memasukinya. Sakral adalah satu kata yang tepat untuk markas kami.
Tapi sekarang aku hanya mematung di ambang pintu, saat melihat gadis yang kini duduk di lantai dengan selembar kertas di tangannya. Mungkin aku berhalusinasi karena akhir-akhir ini sering mendengar tentangnya. Tapi dari wajah tirus dan rambutnya, dia memang terlihat seperti Zia. Hanya saja rambut itu sekarang terikat rapi ke belakang.
Zia—jika benar itu memang dia, tersenyum padaku. Aku sampai bingung harus mengetuk pintu atau membalas senyumannya dulu.
"Bang," panggil seorang gadis berambut pendek di belakangku.
"Permisi." Dia mencoba memberikan senyum termanisnya agar aku tidak merasa keberatan dia lewat lebih dulu.
Sebagai balasan, aku mengabaikannya, melakukan ritual mengetuk pintu, lalu duduk di kursi di balik meja senior—junior dilarang menyentuh kursi ini!
Junior yang baru saja menyapaku itu segera duduk, berbicara dengan Zia, meminta formulir yang telah dilengkapi dan menyimpannya di dalam laci, lalu mengajak gadis itu pergi keluar markas. Tidak seorang pun betah berada di dekat senior di sini. Meski sebenarnya, aku pun lega saat mereka pergi—tidak seorang pun senior ingin didewakan seperti di sini. Tapi peraturan tetap peraturan.
Entah bagaimana mulanya sehingga organisasi kami memiliki peraturan semacam itu. Memanggil senior perempuan, "Kak" dan yang laki-laki "Bang", memakai baju beratribut setiap hari senin dengan konseksuensi atribut jatuh push-up di tempat sepuluh kali, berhenti untuk memberi hormat pada senior yang kebetulan lewat, atau mengipasi—menggunakan buku—bendera yang tidak sengaja kehujanan. Tidakkah itu terlalu ekstrim? Setiap kesalahan yang dibuat entah saat upacara, pengibaran atau penurunan harian hukumannya dua kali PSB—Push-up, Sit-up, Back-up—haruskah aku memberitahu Zia soal ini? Pasti dia hanya tahu Paskibra di sekolah ini begitu populer, atau semacamnya. Belum lagi kalau dia tahu tidak boleh ada status romantis dengan anak dari sekolah yang sama—mengingat banyak yang ingin jadi kekasihnya saat ini. Tidakkah dia akan terbebani?
Tapi ternyata Zia setuju tentang semua itu. Buktinya dia rela memotong rambutnya sebahu—yang sebenarnya membuatnya jauh terlihat lebih manis. Satu yang kusyukuri, hampir semua orang menerima Zia dengan baik di sini. Sebab sejauh ini gadis itu selalu datang tepat waktu dan tidak pernah mangkir dari tugas.
Meski kadang aku tidak tega melihatnya mengambil jatah PSB untuk setiap kesalahannya—lebih tepatnya kesalahan satu tim—inilah yang dikhawatirkan dari status romantis di awal. Tidak ada perasaan. Tidak ada belas kasihan.
Di sini, Zia menemukan senyumnya kembali. Aku senang dia tidak menyerah, dan terus mencoba mencari tempat yang tepat untuknya. Tempat di mana orang-orang bisa menerima dia apa adanya.