Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku pernah jatuh cinta kepada seorang lelaki, karena aku menganggap ia pintar. Setiap kali ia bicara aku tak menemukan makna yang kosong di sana, setiap kali ia menulis aku tak membaca kenihilan pesan di sana.
Seperti semua gadis yang jatuh cinta, aku mendekatinya. Tentu saja dengan cara yang tidak blak-blakan. Lelaki pintar harus didekati dengan cara yang pintar pula, setidaknya begitu aku berpikir.
Maka aku mengikuti semua perjalanan kepintarannya, aku selalu ada di mana ia berdiskusi, membaca buku yang ia baca, mendengarkan tokoh yang ia kagumi, dan melakukan banyak hal sebagaimana ia melakukan.
Kami benar-benar menjadi dekat. Kami bicara dari kebijakan pemerintah hingga satelit yang mengorbit di angkasa, bicara sejarah kenabian hingga keilmiahan ilmu hitam. Kami benar-benar sepasang pintar yang membuat orang di sekitar kagum dengan kepiawaian kami memilih kata-kata.
Seharusnya kami sudah menjadi sepasang kekasih, yang bercinta diselingi obrolan tentang angin muson yang membuat cuaca tak nikmat untuk bercinta, tapi kami masih terus melakukannya tanpa bosan. Tapi kenyataannya kami masih dua orang yang dekat tanpa lekat.
Belakangan aku mulai bosan —apakah cinta terkadang membosankan?— seperti terjadi sesuatu yang tidak tepat setiap kali aku memikirkannya. Awalnya kupikir karena aku ingin progres yang jelas, hubungan yang bisa kujadikan gerbang hidup berikutnya. Tapi lama-lama aku tahu bukan itu, ada sesuatu lain yang sangat esensial namun berhasil kuraba dengan jelas.
Suatu hari saat ia menggandeng perempuan manis berlesung pipi dengan bola mata yang dihiasi lensa kontak, aku tak cukup terluka untuk perempuan yang mengaku jatuh cinta. Bahkan saat aku tahu perempuan itu seseorang yang suka mengeluh di sosial media, menceritakan hal-hal kecil di hidupnya, tentang kucing oranyenya yang nakal, tentang teman-temannya yang suka nongkrong di warung 24 jam, dan hal-hal sederhana yang dilakukan semua anak muda. Aku tak mendapati egoku yang terluka karena merasa kalah.
Sekarang aku tahu apa yang tidak tepat, ia tak pernah membuat aku mengatakan, bahwa aku lebih menyukai lagu-lagu dangdut dibanding suara merdu Tulus.