Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Romantis
Di Kafe Kala Ini
0
Suka
1,019
Dibaca

Banyak cara seseorang dalam mencintai pasangannya, tentang kado setiap bulan, bunga atau coklat, diantar dan dijemput, didengarkan cerita setiap malam atau menikmati hari minggu dengan makan gultik di daerah Matraman. Tapi, kalau saja ada yang bertanya bagaimana pasanganku, aku akan diam. Bukan, bukan tentang masalah aku tidak memilikinya. Justru sudah enam tahun hubungan ini berjalan tapi hanya aku mungkin yang merasa ini adalah sebuah hubungan.

Bukankah dalam suatu hubungan harus ada dua orang yang saling berkerjasama, berkomunikasi, berbagi cerita atau berdiskusi terkait hal-hal random yang tidak perlu banyak riset sebelumnya.

"Kamu saja, aku nanti!" jawab lelaki yang sudah mengisi enam tahun terakhir di hidupku. Dia mengangkat kaki lalu menyilangkannya, airpod di tangannya segera terpasang di telinga. Pasti lagi-lagi lagu Lash Child yang didengarnya.

Aku menghela napas, sudah terbiasa.

Tidak sampai menunggu lima menit, setelah mencari deretan menu apa yang aku pesan di layar ponsel tanganku bergerak memanggil pramusaji.

Dia datang dan mulai aku bacakan pesananku, dan... lelaki disebelahku. "Ice Match satu, Americano satu, dan Spagetti Bolognise satu."

Pramusaji segera mengulang untuk mengecek pesananku. Sesuai, saat akan pergi pramusaji tampak ingin bertanya tapi aku jauh lebih dulu menangkap isyarat itu. "Cukup, Mas!"

Dia mengerti lalu pergi. Tersisa aku dan ponsel dengan layar yang sudah memunculkan berita pernikahan artis muda yang baru saja melangsungkan pernikahan dengan kekasih yang jauh terbilang sudah mapan di usia muda. Sangat beruntung sekali. Artis itu, bukan aku.

Kalau sudah seperti ini rasanya hari minggu bersama pacar sudah tidak sebahagia itu sepertinya. Atau... jauh lebih bahagia untuk sendiri saja? Tapi,

"Ibu kemarin pesan ke aku." sengaja aku menggantungkan kalimatku. Namun dia hanya menatap kearahku, yang kulihat jemarinya menekan tombol disisi ponsel yang mungkin mengecilkam volume suara pada airpodnya.

"Dipesenin apa sama ibu?" sambung dia.

"Kapan mampir kerumah lagi sama keluarga kamu? Kita gak bisa selalu seperti itu terus, kan?" tanyaku yang pada kalimat terakhir takut sekali akan menyinggungnya.

Dia membenarkan posisi duduknya menghadapku, menatap lebih intens lalu melepas earphone yang sejak tadi terpasang di telinganya.

"Kamu tau kan, kalau permasalahan itu aku-"

Tidak. Aku gemas sekali kalau dia sudah memulai dengan kata "Kamu tau kan, ..."

Jelas. Aku tau jelas kalau masa lalu yang kamu punya bahkan tersimpan khusus di ingatan kamu, membuatmu sangat takut untuk melangkah lebih maju dari saat ini, Jun.

"Tapi, kenapa kamu gak mau coba memulai dulu?" tanyaku, menyanggah cepat ucapannya.

Dia menggelengkan kepalanya.

Sedangkan aku mengangguk, menarik napas panjang-panjang seolah udara yang tersedia di bumi saat ini tidak cukup untuk memenuhi rongga paru-paruku. Aku bingung, harus bagaimana lagi?

Aku coba membalas tatapan mata yang intens itu. Jelas sekali bisa aku melihat luka yang amat dalam. Apalagi dengan ceritanya malam itu di perjalanan MRT sepulang kerja bersama dia. Tentang ibunya yang masih sering mengurung diri di kamar sendirian dengan penuh tangis kecil, tangis meraung, hingga melemparkan seluruh benda yang ada didekatnya untuk meluapkan emosi.

Biar ku jelaskan bahwa ibunya, ibu yang sangat dicintai itu sudah meredam banyak rasa sakit sampai tidak mampu sendiri menanggungnya lagi hingga mempengaruhi psikisnya. Sejak saat itu hidup laki-laki di hadapanku terasa mengambang, hilang arah, sepi namun ramai dengan teriak dan segala hal yang selalu di pendam sendiri kecuali saat momen perjalanan pulang berkerja bersamaku di dalam MRT.

"Kamu yakin setelah mengetahui bagaimana retaknya kondisi keluargaku?" tanya dia sendu, sangat ragu akan mengucapkan kalimatnya.

Lagi, untuk kesekian kali aku menggelengkan kepala sebagai bentuk protesku. "Kalau aku gak yakin, mungkin aku gak akan tanya ini berulang-ulang kali ke kamu. Sudah dari jauh saat kamu bercerita mungkin aja aku memilih pergi."

Pesanan datang.

Aku langsung menggeser pesanan spagetti-ku lebih dekat. Tapi, dengan segera jemari dia menggulungkan sesuap spagetti untukku lalu berbisik di sisi telingaku. "Aku akan segera datang dengan penuh keyakinan, jangan lelah menunggu. Pasti!"

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Romantis
Novel
Psycho Love
Liliana
Flash
Di Kafe Kala Ini
Lisnawati
Novel
Perjalanan Cinta Naya
Ochiieet Queenbee
Novel
Epiphany
metanoia
Novel
Bronze
I Love My Army Wife
Author WN
Novel
Dear F, Thanks You.
Rara Rahmadani
Novel
Bronze
Displacement
Noera Ilyana
Novel
Sweet
Affa Rain
Novel
KUMCERPATI
Johanes Prasetyo Harjanto
Novel
Batas-Batas
Siska Ambar
Novel
BISAKAH? (Telah Terbit)
Meyalda Jasmine Shayna
Novel
MAWAR
siti rahmah
Novel
Bronze
Besanku Cantik Sekali
Deche
Novel
Pernikahan Yang Sempurna
Sifa Azz
Novel
Tawa di Antara Sejuta Lara
Evika Dewi Susana
Rekomendasi
Flash
Di Kafe Kala Ini
Lisnawati
Cerpen
Buku Berbeda
Lisnawati
Flash
ZONA NYAMAN BUKAN ZONA AMAN
Lisnawati
Novel
Bronze
You Are Too LATE
Lisnawati
Skrip Film
Satu Cara Untuk Pergi
Lisnawati
Novel
PERPANJANG KONTRAK
Lisnawati
Flash
Keras Hati
Lisnawati
Novel
Aku sepi setelahmu
Lisnawati
Flash
Setahun berlalu
Lisnawati
Flash
Aku Bungkam
Lisnawati
Novel
TEROR JIN DALAM PESANTREN
Lisnawati
Novel
Bronze
25 TAHUN PERNIKAHAN
Lisnawati
Flash
Hai, Apa kabarmu?
Lisnawati
Flash
Bronze
Menunggu Moment
Lisnawati
Flash
Bronze
Kata orang, jangan berhenti di satu titik.
Lisnawati