Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Baju cakra basah kuyup, kabut malam ini begitu tebal hingga menutup jalanan malam ini. Cakra mendesah kesal. Pukul satu malam saja sudah sebasah ini.
Didepan sana ada pertigaan, cakra berbelok ke kanan sepuluh meter kemudian ke kiri. Sampailah ia pada pemukiman penduduk yang sangat sepi. Didepan rumah bercat hijau, cakra memasukkan kunci berwarna tembaga ke dalamnya. Setelah pintu terbuka, cakra menutup pintu kembali dan beranjak menuju kamarnya yang berada disebelah kiri pintu masuk.
Sebelum tidur, Cakra mengeluhkan sikap ana yang sangat abai padanya. Tepatnya pukul enam malam, Cakra didepan rumah ana. Rencananya sih, jalan-jalan ke pasar malam. 'mumpung malam minggu' pikir Cakra.
Ana memegang selempang tas, wajahnya muram. Kali ini cakra tak bertanya apapun. Ia tak mau memperkeruh suasana.
Setelah sampai di pasar minggu, Cakra mengajak Ana menaiki kincir raksasa. Ia melihat raut wajah ana yang muram, sepertinya ana sudah lumayan senang hatinya.
"Gimana? Kamu senang?" Ucap Cakra sembari melihat ayunya wajah ana.
Lagian siapa yang tak bisa jatuh cinta ada ana? Perempuan ayu yang disukai lelaki sejagad raya ini. Mungkin kalau kamu melihat Ana, kamu pula yang jatuh cinta hingga menjadi gila karenanya.
Ana matanya sipit , nyelirit seperti bulan sabit, alisnya bak artis korea. Belum lagi senyumannya yang manis seperti gula aren.
Apalagi kali ini bulan purnama juga ikut menyinari wajahnya.
"Bang Cakra, Ana mau ngomong"
Ana menolehkan kepalanya ke arah Cakra. Terlihat wajah sendu di wajah ana.
"Ngomong apa?" Jawab Cakra
"Kayaknya kita sampai disini aja." Ucap Ana.
"Maksudnya? Sampai disini? Jatuh dong? Ini lagi diatas loh dek."
"Maksud ana, kita udahan sampai disini aja. Mama udah jodohin Ana sama anak kepala desa. Ana harap abang dapat perempuan yang lebih baik dari Ana. Ana cinta Abang, tapi dunia tidak merestui kita untuk bersama. Lebih baik, kita masing-masing aja ya mas. Habis ini, Mas Andri jemput Ana. Jadi, Abang pulang saja." Jelas Ana.
"Kenapa tiba-tiba sekali? Bukankah aku sudah bilang ke Orang Tuamu kalau aku ingin berjuang memiliki dan membahagiakanmu? Mengapa kamu seperti ini?"
"Kamu sebatang kara. Itu kata Mama. Tolong bantulah aku supaya jadi anak yang berbakti, Mas" ucap Ana dengan penuh permohonan.
"Baik. Setelah dari sini, kita berpisah. Terimakasih atas waktu yang telah kamu berikan. Aku harap, Andri lebih besar cintanya terhadapmu dibanding aku." Lirih Cakra.
Dunia seakan runtuh ketika ucapan perpisahan itu tiba. Mama Ana memang tidak menyukainya, tapi ia sudah sowan dan berkata untuk meminta izin setidaknya diberikan waktu untuk bisa membahagiakan Ana. Namun takdir berkata lain, anak kepala desa lebih beruntung daripada Cakra.
Setelah kincir angin itu berhenti, Cakra meninggalkan Ana tanpa sepatah katapun.
Hati yang terangkai menjadi satu perlahan pudar dan tak menyisakan setitik pun untuk menjadi utuh kembali.