Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Aku punya kakak yang ganteng,” kata Nana, di kantin, ketika menunggu siomay yang kami pesan datang. Kami telah berkenalan sebulan yang lalu dan Nana adalah teman dudukku. Aku senang berteman dengan Nana. Ia telah bercerita banyak hal padaku; tentang sekolah, tentang cita-citanya yang ingin jadi pramugari, dan lainnya. Dalam waktu singkat aku merasa telah mengenal dekat dengannya. Dan, sekarang Nana bercerita tentang kakaknya.
“Usianya lima tahun lebih tua dariku,” kata Nana.
“Apakah dia, kakakmu itu, masih kuliah?” tanyaku.
“Tidak,” sahut Nana mengangkat bahu. “Kakakku nggak mau kuliah. Dia lebih suka menghabiskan waktunya bersama laptop.”
“Biar kutebak,” aku menyela. “Kakakmu Youtuber? Banyak anak muda yang bercita-cita jadi Youtuber.”
“Tebakan yang bagus, tapi nggak terlalu tepat,” sahut Nana. “Kakakku sesekali saja bikin video untuk Youtube. Dia lebih senang dengan rancang bangun website.”
“Biar kutebak lagi,” aku menyela lagi dan yakin tebakanku kali ini benar. “Kakakmu seorang web designer, benar?”
“Yup!” Nana mengacungkan jempol kanannya. “Itulah profesi kakakku.”
“Keren.”
“Dia menghasilkan banyak uang dari laptop dan internet.”
“Wow!”
Nana tersenyum.
Siomay pesanan kami telah datang. Kami melahapnya sambil terus bercakap-cakap. Nana tidak lagi membicarakan kakaknya. Dia fokus pada siomay yang lezat itu.
Namun, saat dalam perjalanan menuju ruang kelas XII IPS 3 di ujung sana, Nana bercerita lagi tentang kakaknya.
“Kadang aku kasihan pada kakakku,” katanya. “Meski dia tak pernah mengatakannya, tapi aku tahu dia ingin punya kekasih.”
“Mungkin dia, kakakmu itu, siapa namanya?” tanyaku.
“Nino.”
“Mungkin Nino, kakakmu, merahasiakan kekasihnya. Dia ganteng, seperti katamu, pasti banyak yang naksir,” kataku.
“Semoga begitu,” sahut Nana. “Tapi aku nggak yakin. Kukira karena keadaan, dia itu pemalu banget, atau ..., entahlah, aku hanya merasa nggak yakin.”
“Semoga kakakmu segera menemukan jodoh,” kataku. Nana tersenyum.
Kami telah sampai di ruang kelas, duduk di meja kami di deret depan, bersiap menunggu pelajaran berikutnya.
Nana menyentuh bahuku dan mendekatkan wajah.
“Lala,” bisiknya, “aku berpikir kamu cocok jadi pacar kakakku.”
Aku membelalak.
***
“Aku punya kakak yang cantik,” kataku, di kantin, di hari yang lain, ketika menunggu bakso pesanan kami datang. Nana telah banyak cerita tentang diri dan keluarganya. Aku telah pula bercerita tentang diriku, tentang papa yang kerja di perusahaan provider internet di Jakarta dan pindah tugas ke Batang karena perusahaannya buka cabang di kota kecil di pantura Jawa Tengah ini. Dan, sekarang aku akan cerita tentang kakakku.
“Usianya lima tahun lebih tua dariku,” lanjutku.
“Apakah kakakmu masih kuliah?”
“Tidak,” kataku mengangkat bahu. “Kakakku nggak mau kuliah. Dia lebih suka menghabiskan waktunya bersama laptop. Dia seorang blogger dan Youtuber.”
“Keren,” sahut Nana.
“Dia menghasilkan banyak uang dari blog dan Youtube.”
“Apa nama channelnya? Mungkin aku tahu,” kata Nana.
“Kakakku suka dunia kecantikan. Dia banyak unggah video tutorial kecantikan,” kataku, mengambil ponsel dari saku baju, membuka Youtube, dan menunjukkan sebuah video pada Nana.
“Sebentar,” kata Nana, memperhatikan video itu dengan saksama. “Aku pernah nonton video ini di laptop Kak Nino. Kalau nggak salah ingat, Kak Nino jadi subscriber channel ini.”
“Benarkah?”
Nana mengangguk.
“Gadis di video ini, apakah dia kakakmu?” tanya Nana.
“Bukan. Dia sepupu kami. Kakakku pemalu. Ini video dibuat saat kami masih di Jakarta. Sepupu kami tidak ikut pindah ke Batang. Sudah beberapa lama kakakku belum bikin video lagi.”
“Narator di video ini, apakah suara kakakmu?” tanya Nana.
“Bukan,” sahutku. “Itu suara mama kami.”
“Mengapa kakakmu, siapa namanya?”
“Lili,” sahutku.
“Mengapa Lili, kakakmu, nggak pakai dirinya sebagai model atau suaranya sebagai narator?” tanya Nana.
“Seperti kataku tadi, kakakku pemalu. Untuk video berikutnya, mungkin aku yang akan jadi model dan naratornya.”
Bakso pesanan kami telah datang. Kami melahapnya sambil terus bercakap-cakap, tetapi aku tidak membicarakan kakakku lagi. Aku fokus pada bakso yang lezat itu. Begitu pula saat kami berjalan menuju kelas, kami tak banyak bicara. Aku memikirkan beberapa hal dan kukira Nana juga memikirkan hal yang sama.
Di kelas, saat menunggu guru pelajaran berikutnya datang, aku menyentuh bahu Nana dan mendekatkan wajah.
“Nana,” bisikku, “aku berpikir, kakakmu cocok jadi pacar kakakku.”
Nana membelalak. Tak lama kemudian, kami tersenyum. Tangan kami bertemu di udara. Tos!
***SELESAI***
Batang, Jawa Tengah, 8 Maret 2020