Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Drama
Kursi Goyang Nenek
0
Suka
1,102
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Setelah nenek wafat, Maya berkeras agar kursi goyang yang berada di dekat jendela ruang tamu itu dijual. Maya tidak mau melihat kursi goyang peninggalan nenek itu bergoyang sendiri pada malam hari atau saat Maya sendirian di rumah. Mengerikan!

“Imajinasimu terlalu liar, May. Kursi itu di dekat jendela, angin dapat leluasa masuk menggoyangkannya,” kata Putri, kakaknya.

“Pokoknya Maya nggak mau kursi itu ada di rumah ini. Titik!” tegas Maya kukuh pada pendiriannya.

“Tapi aku, papa, dan mama ingin mempertahankan kursi goyang itu. Kamu jangan pakai hak veto, dong,” sahut Putri.

“Masa bodoh. Pokoknya Maya nggak suka kursi itu ada di rumah ini!” tegas Maya lagi, beranjak dari ruang tamu lalu masuk kamar.

Maya sering membayangkan kursi goyang dari kayu jati berukir itu bergoyang sendiri, lalu mendengar suara nenek menyenandungkan lagu-lagu Jawa, yang membuat Maya bergidik dan merasa tak nyaman berada di rumah. Apalagi rumah Maya dekat kuburan. 

Dua hari Maya tidak pulang ke rumah. Ia menginap di ruang UKM Teater di kampus. Hari ketiga, Putri datang ke kampus menemui Maya.

“Pulanglah. Kursi goyang itu sudah tidak ada di rumah lagi,” kata Putri.

“Papa sudah menjualnya?” tanya Maya.

“Bukan dijual,” sahut Putri. “Papa menitipkan kursi itu di rumah paman.”

“Oke. Nanti habis kuliah, Maya akan pulang,” kata Maya.

***

Sudah dua minggu ini kelompok teater di kampus Maya gencar latihan. Mereka akan mementaskan sebuah lakon pada minggu depan. Balada Seorang Nenek, adalah judul lakon yang akan mereka pentaskan. Berkisah tentang seorang nenek yang mengenang masa lalunya sebagai perawat di masa perang.

Maya mendapat peran utama, sebagai si nenek. Tiap hari mereka latihan dan Maya harus sering duduk di kursi goyang rotan sebagai seorang nenek. Kursi goyang rotan itu hanya properti sementara, sebelum mereka mendapatkan kursi goyang yang sesuai dengan tuntutan cerita.

“Bagaimana, sudah kau dapat kursi yang kita butuhkan?” tanya Hendra sang sutradara, pada Rahman yang mengurusi properti.

“Belum, Bang,” kata Rahman. “Susah mencari kursi goyang yang kusam dan berdesain klasik. Kalau berdesain modern, banyak di toko mebel, Bang.”

“Bah! Apa nanti kata kritikus, kalau kita pakai kursi goyang modern?” sahut Hendra. “Jadwal kita pentas makin dekat, kau carilah terus lebih keras!”

“Ya, Bang. Akan saya usahakan,” jawab Rahman.

Maya yang mendengarkan percakapan itu hanya diam, membayangkan kengerian ketika para kritikus mencibir pentas mereka yang cacat properti karena menggunakan kursi goyang yang tidak tepat!

“Kalian semua!” teriak Hendra pada semua pemain di ruangan itu. “Bantu kami cari kursi goyang klasik!”

***

Di panggung yang bercahaya temaram, tampak Maya yang berwajah keriput, bersanggul, dan berkebaya coklat muda, duduk di kursi goyang dari kayu jati berukir. Di dekatnya ada properti berupa sekat yang didesain menyerupai jendela.

Suara Maya bergetar, suara seorang nenek.

“Berat rasa hatiku harus berpisah dengan kursi ini, bila kelak maut menjemputku. Pada siapakah kelak kursi ini akan berlabuh?” ucap Maya ketika bermonolog. Dan, pentas pun terus berlangsung hingga usai satu jam kemudian.

Di belakang panggung, usai pentas, Hendra menjabat tangan Maya.

“Terimakasih, kawan. Kau bermain bagus. Dan, apa jadinya bila pentas kita tanpa kursi goyang milik kau itu” kata Hendra tersenyum.

“Sama-sama, Bang,” sahut Maya.

“Nenek kau tentu bangga, bila ia dapat melihat kau bermain cantik,” puji Hendra.

“Aku kan memang cantik sejak lahir, Bang,” sahut Maya.

“Haha!” Hendra tertawa.

Semua pemain memberikan ucapan selamat pada Maya. Malam itu sangat membahagiakan dan membanggakan bagi Maya. Ia mengedarkan pandangan ke segenap penjuru ruang di balik panggung itu, dan tersenyum karena ia telah mencetak sejarah dalam hidupnya, malam itu. 

Dan, Maya melihat sesosok perempuan tua berkebaya coklat muda berdiri di pintu keluar yang bercahaya temaram, karena lampu-lampu mulai dipadamkan. Sosok itu tersenyum padanya, tetapi hanya sesaat, lalu sosok itu menghilang dalam keremangan cahaya. Apakah itu nenek?

***SELESAI***

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Novel
TARUK
Ratna Arifian
Flash
ISTRIKU MENGENDAP-ENDAP
NUR C
Flash
Kursi Goyang Nenek
Sulistiyo Suparno
Novel
Kolase Hujan
nunusaibah
Novel
Bronze
AKU YANG MEM(DI)BENCI KEHIDUPAN
Linda Rahmawati
Novel
Awan Tanpa Rupa
ANCALASENJA
Novel
Bronze
The Colours of Life
Sofia Grace
Novel
SUKMA: Masa bermain yang hilang
Anggy Pranindya Sudarmadji
Novel
JOVAN
Giovanna K. A.
Flash
Kuping
Haru Wandei
Cerpen
Bronze
GEN
Maldalias
Cerpen
Kumbang Jantan dan Kupu-Kupu Berbintik Biru
Ferry Herlambang
Novel
Jangan Menyerah Hari Ini
Risman Senjaya
Novel
Gold
Spotlight
Mizan Publishing
Novel
Hormat, Bapak Abdi Negara!
Nurhidayah
Rekomendasi
Flash
Kursi Goyang Nenek
Sulistiyo Suparno
Cerpen
Bronze
Jangan Jadi Orang Baik
Sulistiyo Suparno
Cerpen
Bronze
Pisau
Sulistiyo Suparno
Flash
Bronze
Radio Kuna Kunawi
Sulistiyo Suparno
Cerpen
Bronze
Menunggu Kakak Pulang
Sulistiyo Suparno
Flash
Bronze
"Tolong, Sembelih Saya!"
Sulistiyo Suparno
Cerpen
Bronze
Daun Jati
Sulistiyo Suparno
Cerpen
Bronze
Pacarku Preman
Sulistiyo Suparno
Cerpen
Bronze
Dua Perjaka Tua
Sulistiyo Suparno
Flash
Petualangan Maradona
Sulistiyo Suparno
Cerpen
Bronze
Cinta yang Berbelok
Sulistiyo Suparno
Flash
Bronze
Memetik Sunset
Sulistiyo Suparno
Flash
Bronze
Kecupan Rere
Sulistiyo Suparno
Flash
Bronze
Menjaring Matahari
Sulistiyo Suparno
Cerpen
Bronze
Konsultan Skripsi
Sulistiyo Suparno