Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Kamu indah.”
“Aku tahu.”
Ada senyum yang ditukar. Ada tatapan mata yang masih penuh cinta, masih menggelegak dengan rasa ingin memiliki sepenuh jiwa. Kopi disajikan, dan kian lengkaplah pertemuan kembali dua jiwa yang pernah ingin menjadi satu.
“Apa kabarmu?”
“Bahkan saat menangis, kau juga indah.”
“Jangan bicara begitu.”
“Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja.” Suara Koko masih sekeras batu. Suara itu pernah membuat Indah jatuh cinta setengah mati padanya, jauh, jauh sebelum semuanya berubah, sebelum segalanya terpisah. “Bagaimana denganmu?”
Dahi Indah berkerut. Mengatakan bahwa ia baik-baik saja adalah basa-basi tak berguna. Seberapapun baiknya kehidupan yang sekarang ia jalani, ketiadaan Koko membuat semuanya tak berarti. Dan Indah tak suka basa-basi.
“Aku merindukanmu.”
“Aku tahu.” Jawabannya datang secepat jantung berdetak.
Indah mendongak, disambut senyuman merekah Koko, senyuman yang membacanya sejelas buku terbuka. Ia nyaris bisa merasakan jantungnya bekerja dua kali lipat seketika.
“Tentu saja.” Ia berhasil melepaskan senyuman. “Apa yang tak kau tahu tentangku?”
Senyuman itu masih tak pudar, dusta bila Indah tak melihat sisa airmata menjejak di sana.
“Aku suka berkunjung ke rumahmu. Kopinya enak sekali.”
“Sering-seringlah berkunjung. Aku akan senang memiliki teman bermain.”
“Sampai ketemu.”
“Sampai ketemu.”
“Kopinya masih terasa sama.”
“Tentu saja. Itu kesukaanmu, Inupi.”
“Terimakasih sudah mengingatnya.”
“Apa yang bisa kulupakan darimu?”
Tawa Indah sendirian mengambang. “Jangan pernah lupakan aku.”
“Kau tahu aku takkan pernah melupakanmu.”
Lalu Koko turut tertawa. Indah mengernyit. “Kenapa?”
Jawabnya gelengan geli. “Ini adalah pertemuan pertama kita setelah sekian tahun, tapi mengapa kita bersikap seolah akan berpisah lagi?”
“Aku menyukaimu.”
“Menyukaiku dalam hal apa?”
“Semuanya.”
“Jelaskan.”
“Memangnya barusan tidak jelas? Aku menyukaimu, Koko.”
“Aku tahu.”
“Kau tahu?”
“Siapapun yang melihat bagaimana caramu bertingkah di hadapanku tentu tahu kau menyukaiku.”
“Suka dalam arti-”
“Kau mencintaiku.”
“Aku mencintaimu.”
Jemari Indah menari di pangkuannya. Ia pikir keadaannya akan sedikit lebih ekstrim, dengan pelukan dan pekikan rindu, dengan pertukaran kisah dibanjiri antusiasme, dengan tawa penuh nostalgia dan kisah memalukan masa lalu. Namun tidak ada. Indah tak pernah begitu. Apalagi Koko.
Mereka hanya duduk berhadapan di sofa ruang duduk Koko dengan dua cangkir kopi dan sepiring reroti. Di awal pertemuan mereka hanya saling bertukar dekapan hangat dan dua ciuman di pipi. Tak ada histeria berlebih sebagaimana yang ia sangka. Namun tetap saja seulas senyum dan secarik tawa milik sang tuan rumah membuatnya merasakan hangat yang lama ia kenang rupanya.
“Kamu tahu,” Indah angkat bicara. “Kamu terasa seperti rumah bagiku.”
“Kalau begitu apakah kau sekarang pulang?”
Kepala Indah dianggukkan. “Aku pulang.”
“Apa kau akan pergi lagi?”
Ada jeda.
“Mungkin.”
“Tenang saja, kamu rumahku.”
“Kalau begitu kenapa kamu pergi?”
“Karena aku harus.”
“Apa kamu akan pulang?”
Tak ada jeda.
“Pasti.”
“Apa kamu akan pulang lagi?”
Kali ini tak ada jeda.
“Pasti.”
Di awal malam, Koko mengajaknya naik ke balkon dimana mereka pernah menggelar karpet bersama, memandang langit telanjang dengan kaki bertumpuk di bawah selimut sampai tak terasa badan siapa bermula dimana dan berakhir di mana. Hari ini karpet yang sama kembali dihamparkan, menabrak Indah dengan sensasi manis nostalgia.
“Apa rasanya menjadi bintang?”
“Mungkin dia bahagia.”
“Kenapa?”
“Ada banyak mata yang mengaguminya, menitipkan harapan padanya, juga memohon bantuannya. Bukankah itu membuatnya bahagia?”
“Jika aku bintang, aku takkan seperti itu.”
“Bintang seperti apa yang kau inginkan?”
“Aku ingin menjadi bintang hanya untuk satu orang, yang ditatap satu orang, yang dimiliki satu orang. Aku ingin menjadi satu-satunya untuk orang itu, dan ia akan menjadi satu-satunya bagiku. Dan aku menginginkanmu.”
“Aku tahu. Karena itu aku milikmu.”
“Dimana bintang yang dulu?” Indah memeluk sikunya sendiri, lalu bersandar ke pagar di sisi Koko.
“Di hadapanku.” Koko menoleh, helai rambutnya yang tercium angin melambai.
Susah payah Indah menahan tawa. “Tentu saja." Ia mengulum senyuman, menahan diri agar tak tenggelam dalam keping mata Koko yang menghanyutkan. "Tentu saja.”
“Kau masih menginginkanku?” pertanyaan itu diiringi tangan yang terulur meminta digenggam.
“Kapan aku pernah tak menginginkanmu?”
Ditatapnya Koko lama-lama, diam menyampaikan semua yang ingin dikatakan. Ketika bersama Koko, verba kadang menjadi tak berguna. Hanya masalah waktu saja sampai kemudian jarak antar wajah makin dikikis hingga habis menjadi ciuman lembut disusul jemari menggapai dan merengkuh dan mencengkeram dan lepas hanya ketika butuh napas. Ada sisa rasa kopi dalam lidah masing-masing dan senyuman yang terasa dalam pejam dan makin banyak lagi kecupan.
Ketika diakhiri, Indah nyaris menangis. Rindu yang rasanya terbayar kini justru memberat alih-alih hilang. Ia ingin ciuman yang sama, lagi dan lagi, sampai ia lupa akan segalanya. Indah hanya menginginkan Koko. Indah hanya menginginkan Koko.
“Aku mencintaimu.” bisiknya pada bibir Koko.
“Aku tahu.”
“Aku mencintaimu, Koko.”
“Aku tahu.”
Koko tidak pernah membalas pernyataan cintanya. Dulu maupun sekarang.
Koko adalah jelmaan dari kebebasan. Komitmen dan kata-kata bukan caranya menjalin asmara. Umpama ia adalah rumah singgah, maka Indah adalah tamu yang terus berharap diizinkan menjadikannya tempat berpulang.
“Kau masih indah.” lirih meretih suaranya diiring senyum pedih dan seulas airmata.
Jawabnya, seperti selalu, senyuman. Kali ini bumbunya pulas ibu jari di atas pipi, menghapus tangis membayangi. “Aku tahu.”
Indah berusaha agar hatinya tak begitu saja runtuh.
“Tentu saja kau tahu, Koko. Tentu saja kau tahu."