Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Hana terbangun di tengah malam karena dering telepon yang tajam. Dengan mata setengah terpejam, ia meraih ponsel di meja samping tempat tidurnya. Layar menunjukkan nomor yang tak dikenal. Meski ragu, ia menjawabnya.
"Halo?" suaranya serak.
"Hana, ini aku, Dinda," suara di seberang terdengar akrab namun gelisah.
"Dinda?" Hana tercengang. Dinda adalah sahabat terbaiknya yang telah meninggal dalam kecelakaan tragis setahun lalu. "Ini lelucon ya? Siapa ini sebenarnya?"
"Tidak, ini benar-benar aku. Aku butuh bantuanmu," kata Dinda, suaranya terdengar putus asa.
Hana merasakan kengerian merayap di punggungnya. "Bagaimana mungkin? Kamu sudah…"
"Tidak ada waktu untuk menjelaskan. Temui aku di rumah lama kita, tempat kita biasa bermain dulu," Dinda memotong dengan nada mendesak.
Tanpa sadar, Hana langsung bangkit dari tempat tidur dan mengenakan jaket. Ada sesuatu dalam suara Dinda yang membuatnya tidak bisa mengabaikan panggilan itu. Ia mengambil kunci mobil dan melaju menuju rumah tua yang sudah lama ditinggalkan.
Saat tiba di sana, suasana suram dan sunyi menyelimuti rumah. Dengan langkah ragu, Hana memasuki rumah itu. Lampu ponselnya menjadi satu-satunya sumber cahaya.
"Hana, di sini," suara Dinda memanggil dari lantai atas. Hana mengikuti suara itu dengan hati-hati, tangannya gemetar.
Di lantai atas, ia menemukan Dinda duduk di sudut ruangan. Wajahnya pucat dan matanya penuh kesedihan. "Dinda, ini benar-benar kamu?" tanya Hana, suaranya bergetar.
"Iya, ini aku. Aku terjebak di sini sejak kecelakaan itu. Ada yang salah, dan aku butuh kamu untuk membantuku keluar," jawab Dinda dengan tatapan memohon.
"Apa yang harus aku lakukan?" Hana bertanya.
"Tolong buka kotak itu," Dinda menunjuk ke sebuah kotak kayu tua di sudut ruangan. "Di dalamnya ada surat yang harus kamu baca keras-keras."
Hana mengikuti petunjuk Dinda, membuka kotak itu dan menemukan surat usang. Ia mulai membacanya dengan lantang, setiap kata terasa berat dan penuh makna.
Tiba-tiba, angin kencang berhembus melalui ruangan, membawa aroma bunga yang manis. Dinda berdiri dan mulai memudar. "Terima kasih, Hana. Kamu telah membebaskanku," katanya dengan senyum damai sebelum lenyap sepenuhnya.
Hana berdiri di sana, sendirian dalam kegelapan, merasakan campuran antara kehilangan dan kedamaian. Ia tahu Dinda telah pergi untuk selamanya, tapi kali ini, dengan cara yang benar.
---