Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Tembakan angin dingin dari AC yang tertancap di dinding menggetarkan ujung jemarinya yang membeku, bertolak belakang dengan pelipisnya yang bercucuran keringat sebesar biji jagung.
Bola matanya melotot ke seonggok perhiasan imitasi busuk nan berkilau yang dibelinya di pasar malam dua hari lalu. Tentu saja busuk. Perhiasan itu dibuat dari logam murahan.
Emas palsu itu akan ia jadikan sebagai agunan untuk sebuah transaksi pinjaman bodong bernilai 20 juta. Nilai kecil dengan konsekuensi amat besar!
Tidak sulit bagi seorang petugas gadai barang perhiasan seperti dirinya untuk membuat transaksi pura-pura, apalagi dengan pengalaman mumpuni lima tahun. Ia sudah tahu di mana celah untuk berbuat curang. Pengalaman dan kesalahan orang lain yang pernah berada di sepatu yang sama telah membuatnya bijak.
Pria itu bahkan sudah selesai meng-input berat, kadar emas rekaan perhiasan tadi, dan jumlah uang pinjaman ke dalam sebuah sistem di komputer.
Tinggal memencet tombol enter pada keyboard hitamnya, maka sebuah transaksi gadai emas terbit dan uang untuk membayar UKT adiknya bisa ia transfer hari ini juga.
Namun, sungguh berat jemarinya mengeksekusi aktivitas sederhana itu. Tak serta-merta akal bulus sore ini dengan mudah ia laksanakan, sebab, sesuatu sedang mengombang-ambingkan kompas moralnya!
Kau sendirian. Tak akan ada yang tahu, bisik setan jahanam di telinga kirinya.
Pria itu mengangguk pelan. Namun, sedetik kemudian kepalanya menoleh cepat ke sudut kanan atas ruangan. Sebuah perangkat CCTV ber-LED merah tengah memelototinya.
Jantungnya berdesir pelan.
"Untung nggak jadi," gumamnya. Keringat tadi disekanya dengan lengan baju.
Adik kau butuh uang itu sekarang. Kalau tidak, tamatlah riwayatnya jadi sarjana, goda setan jahanam lagi.
"Fatiaku ...." lirihnya sendu.
Pria itu menegakkan punggung. Jari telunjuknya bersiaga di atas tombol enter.
"Demi Fatia," rapalnya berulang-ulang. "Bulan depan langsung kutebus dengan gaji dan bonus," janjinya pada diri sendiri.
Tiap detik, tekad untuk menipu perusahannya semakin menggelembung.
Kau bisa membuatnya tersenyum karena tak jadi putus kuliah, bujuk si setan jahanam lembut, yang ikut-ikutan melembutkan hatinya.
SIDDIQ!!!
Suara itu menyentak gendang telinga kanannya, menyentil kalbunya, dan menghempas tubuhnya ke sandaran kursi sehingga menimbulkan suara berisik di ruangan yang menyepi.
Beraninya kau mencuri uang Ibu!
Suara itu kembali bergema kencang dalam kepalanya, seakan diteriakkan dengan toa masjid.
Pria itu bernama Siddiq.
Jujur, itulah makna namanya. Nama yang tak sesuai dengah tingkah polahnya hari ini!
Detak jantungnya tiba-tiba meningkatkan, membuat Siddiq meremas kemeja depannya. Tubuhnya bergidik mengingat calon maksiat yang hampir saja ia wujudkan.
Sebuah memori 'istimewa' membanjiri nalarnya, memaksanya bernapak tilas pada kenangan 16 tahun lalu, saat tubuh kurusnya menunduk gemetar di bawah tatapan ibunda tersayang di rumah masa kecilnya.
"Tak pernah ibu ajarkan kau perbuatan laknat itu, Nak! Ibu cari uang supaya kau dan Fatia menimba ilmu agama dan belajar akhlak mulia di madrasah, supaya hidup kalian selamat meski tanpa kehadiran ibu di sisi kalian. Tapi, apa ini?! Mencuri?!"
Es krim potong yang baru Siddiq gigit dicampakkan ke lantai ubin.
"Maaf, Bu," ucapnya berkali-kali sambil menunduk dalam.
Setelah menghembus napas kasar, ibu Siddiq bicara, "Kenapa kau mencuri uang ibu?!"
"Fatia ... Fatia merengek padaku minta es potong," jawabnya takut-takut. "Aku tak tahan mendengar tangisnya, Bu. Maka aku ambil uang ibu di ... di dalam laci."
"Tuhanku!"
Siddiq makin menciut atas suara putus asa ibunya.
"Meski Fatia merengek sampai kehabisan napas, meski Ibu tahu kau sangat menyayanginya, tapi tak lantas kau mencuri, tak lantas kau melupakan Tuhan! Dosa besar, Nak!"
"Maaf, Bu," cicit Siddiq.
Perempuan itu berlutut dan menyentuh kedua bahu ringkihnya, membuat Siddiq mengangkat kepala dan menemukan sepasang mata merah nan sendu sedang menatapnya.
"Ibu dan mendiang Ayahmu tak pernah mengajarkan perilaku rendah itu, Nak, sekalipun untuk membahagiakan kalian berdua," ucapnya lembut sambil membelai kepala si bocah sebelas tahun. "Ibu merasa gagal jadi orang tua."
Bertambah-tambah rasa bersalahnya. "Maafkan Siddiq, Bu."
Merengeklah lelaki kecil itu sambil melemparkan diri ke tubuh ibunya. Kata-kata lembut tadi justru menusuk hatinya yang telah luka akibat perbuatannya sendiri.
Dia telah membuat ibu kesayangannya kecewa!
Pelukan ibunya membuat tangis Siddiq makin lebat. Badannya bergetar begitu hebat. Tak satu kata pun terdengar jelas bahkan sesederhana kata maaf.
Kepalanya bertumpu lelah di bahu sang ibu sambil sesekali menghirup lendir yang mengalir di hidungnya. Sudah berapa lama dia begini? Sepuluh menit? Lima belas menit? Entahlah.
"Sudah tahu letak salah kau, Nak?" tanyanya setelah segukan Siddiq mereda.
"Sudah, Bu."
"Bagus." Siddiq yakin satu kata itu diucapkan ibunya sambil tersenyum. "Ibu ingin kau mengingat kata-kata Ibu. Jangan bermudah-mudah mencuri, menipu, berbohong. Ibu tak ingin hidup kau jauh dari keberkahan. Dosa akan senantiasa mengikuti bila kau menempuh jalan sesat. Mengerti, Nak?"
"Mengerti, Bu."
"Ibu ...." gumam Siddiq di masa kini.
Cepat kau cairkan uang sialan itu! desis setan jahanam gusar, seakan-akan si setan tak sabar dengan kelambanan Siddiq akan niatnya yang tertunda.
Siddiq berdiri bimbang di antara nasihat ibunya dengan tenggat waktu UKT hari ini.
Bzzzt. Bzzzt.
Getar ponsel Siddiq menginterupsi keraguannya.
"Fatia?" Terkejut Siddiq membaca nama si penelepon.
"Ya, Dek?" jawabnya segera.
"Bang, aku ikhlas putus kuliah asal Abang tak pusing cari uang untuk bayar kuliahku," serbu Fatia tanpa basa-basi.
"Kamu bicara apa, Dek?!"
"Aku tahu Abang akan lakukan apapun, APAPUN demi bayar UKT-ku. Jangan berbuat macam-macam dengan perhiasan imitasi itu ya, Bang?" mohon Fatia.
"Bagaimana kamu ...." Tak sanggup Siddiq meneruskan pikirannya.
"Semalam. Di meja Abang." Fatia menjeda. "Aku tahu kerjaan Abang. Jangan korbankan prinsip kita, Bang. Ingat pesan Ibu."
Tertampar keras nurani Siddiq saat itu juga.
"Maaf, Dek. Abang ... Abang gelap mata," ujarnya terbata-bata.
Selesai bercakap dengan Fatia, beristigfarlah Siddiq berpuluh kali. Malu Siddiq dengan Tuhannya yang sedang menyaksikan aksinya. Malu Siddiq pada adiknya yang masih bersih hatinya. Segera ia raup perhiasan busuk itu dan dilemparkannya ke tong sampah.
Sebuah pesan singkat masuk dari nomor tak dikenal. Bibirnya bergetar membaca pesan itu, seakan Tuhan sedang menunjukkan bukti kebesaran-Nya setelah niat buruknya tak jadi terlaksana.
Dik, saya Pak Min, teman mendiang ibumu waktu kerja di pabrik. Saya mau mengembalikan uang 25 juta yang saya pinjam sebelum ibumu berpulang. Bisa kita bertemu sekarang?
Siddiq tercenung.
Apa jadinya kalau ia tak dibuat ragu oleh Tuhannya dan termakan bujuk rayu setan jahanam tadi?