Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Memang dia sudah tidak waras!
Aku bersumpah, bahwa aku tidak akan pernah menemuinya lagi. Namun, hari ini aku menelan ludahku sendiri. Aku terpaksa menemuinya karena ia mengancam akan mencelakai ibuku yang tengah terbaring di rumah sakit.
Jika saja hanya mengancam untuk melukaiku, tentu tidak apa, sebab ia tidak pernah benar-benar melakukannya. Hanya saja hari ini, dia tampak benar-benar serius.
Bahkan, ia mengirim swafoto yang menunjukkan bahwa ia sedang benar-benar berada di samping pembaringan ibu yang masih terpejam, koma. Ia juga memamerkan pisau lipat untuk meyakinkanku bahwa ia tidak sedang bercanda.
Sialan! Kenapa pihak rumah sakit tidak memeriksa betul-betul siapa tamu yang hendak membesuk?!
"Jika sudah selesai, segera kembali! Hari ini tidak ada yang bisa handle pekerjaanmu!"
Beruntungnya, Bos mengizinkanku setelah beralasan bahwa pihak rumah sakit menghubungi perihal kondisi ibu. Gara-gara ulah perempuan tak waras itu, hidupku terasa rumit!
"Akhirnya!"
Seorang perempuan yang sebelumnya membelakangiku, kini beranjak mendekatiku yang masih berdiri di ambang pintu. Aku menarik lengannya untuk keluar dari ruangan ibuku. Membawa ia menuju toilet rumah sakit yang sepi. Aku yakin, setelah ini akan ada pertengkaran sedikit serius.
"Apa maumu, Jane?" Aku langsung kepada inti pertanyaan.
"Masih bertanya?" balasnya, dan aku tahu apa maksudnya.
"Aku tidak bisa meneruskan kebodohan itu, Jane! Kita sudah berakhir!" tegasku. "Dan memang seharusnya tidak pernah ada sejak awal."
Giginya terdengar saling beradu menahan kesal. "Hanya kau yang menganggap hubungan kita berakhir! Aku tidak!"
Nafasku tertahan saat ia mengacungkan pisau lipat dari saku jeans-nya dan mulai mendekatiku. Ia mengayunkan benda tajam itu ke arahku. Meski sempat mengelak, sayatan dengan garis lurus sepanjang kira-kira 7 cm itu berhasil terukir di lenganku, merobek kemeja kerja yang kukenakan.
"Jika kau menjerit, aku akan benar-benar membunuhmu saat ini juga!" ancamnya, saat aku bersiap mengeluarkan suara sekeras mungkin.
"Jane, kau harus paham bahwa hubungan kita salah!" peringatku sambil meringis menahan perih. "Kau juga harus berubah."
"Hanya kau yang menganggap hubungan ini salah!" gertaknya tertahan.
"Bukan hanya aku, tapi dunia!"
"DIAM!"
"Jane, kita bisa berteman. Aku akan melanjutkan hidupku dan kau juga melanjutkan hidupmu. Kita pantas hidup dalam kenormalan. Kit-"
Aku meringis kesakitan saat ia benar-benar melayangkan pisau itu ke sudut bibirku. Cairan merah segar mengucur deras dari sana. Perempuan itu mendorongku, sehingga aku terduduk di WC yang tertutup.
Aku berteriak meminta tolong, saat aku tahu ini sudah terlambat. Namun, semoga ada yang mendengar teriakan orang yang sedang terjebak ini. Ia hanya tertawa. Aku menahan lengannya yang hendak menancapkan mata pisau itu ke arah mataku.
Kudorong ia dengan kakiku sekuat tenaga. Ia terhuyung beberapa langkah ke belakang. Aku menggunakan kesempatan itu untuk berlari keluar. Namun, tangan gesitnya berhasil mencengkeram pergelangan kakiku sehingga aku terjerembab ke depan.
Beberapa kali hujaman pisau mendarat di betisku. Celana panjangku yang berwarna putih itu, seketika menjadi marun. Aku masih berusaha merangkak, menjerit meminta tolong.
"DIAM!"
Jane melangkah cepat. Menyeretku kembali ke belakang, saat tanganku hampir berhasil menyentuh gagang pintu ruangan itu. Ia benar-benar di luar kendalinya.
Dalam posisi telungkup, aku merasakan ngilu di kedua pahaku. Hujaman itu berkali-kali. Kemudian, ia membalikkan badanku. Pisau dan tangannya sudah berlumur darah.
"Kau mau melanjutkan hubungan kita atau kau mau aku melanjutkan menghabisimu?"
Aku menggeleng sambil menangis. Keduanya sama sekali bukan pilihan yang menguntungkan.
"Stop, Jane! Aku tidak akan memilih!"
Jane mengangguk-angguk sambil tersenyum licik.
"Kalau begitu, ini pilihanmu!!!"
Sebelah mataku mendadak gelap dan ngilu. Wanita itu menghujamkan ujung pisaunya yang runcing ke bola mataku. Aku semakin histeris, tapi tidak ada tanda-tanda akan ada yang datang menolong.
"Ini tidak sebanding dengan pengabaianmu kepadaku dan kau yang memilih aku melakukan ini! Kita jelas-jelas saling mencintai, tetapi kau memutuskan secara sepihak!" racaunya. "Tuhan tidak pernah melarang cinta dan kenapa perempuan egois sekali!"
"Tuhan memang tidak pernah melarang cinta, tapi Tuhan jelas melarang hubungan ini, Jane! Sadarlah!" ujarku parau di tengah kesakitanku.
"OMONG KOSONG!!!"
Pandanganku gelap total. Tepat saat sesuatu yang tajam mendarat di leherku.
***
Garis polisi melintang di area toilet. Seketika rumah sakit itu gaduh. Tidak hanya dipenuhi oleh orang-orang yang memerlukan dokter, melainkan memerlukan penjelasan dan reka adegan.
Para wartawan dan juru kamera segera bangkit bersiap saat beberapa polisi keluar dari pintu utama rumah sakit. Salah satunya membekuk seorang perempuan yang pergelangan tangannya sudah diborgol.
"Korban adalah perempuan berusia 29 tahun berinisial MW. Pelaku berinisial JA berusia 28 tahun, mengaku telah melakukan tindak kriminal ini atas dasar dendam dan tidak menerima keputusan sepihak dari korban."
Beberapa polisi menunjukkan barang bukti berupa pisau yang masih berlumur darah, dompet milik korban berisi beberapa lembar uang, kartu identitas, SIM, kartu ATM, dan beberapa foto 3x4 backround merah yang menampilkan wajah seorang perempuan tidak berkerudung.
***
Aku belum sempat meminta maaf dan berterus terang kepada Ibu atas rahasia besarku dulu. Hari ini, aku melihat namaku sendiri di sebuah papan yang menancap ke tanah. Mira Wirawan binti Wirawan.