Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aulia sudah menduga bahwa, Ryan tidak akan mengizinkannya main sinetron. “Aku mohon, Ryan. Sekali ini saja, please. Ini kesempatan emas buatku. Lagian aku nggak syuting setiap hari, hanya Sabtu dan Minggu. Aku juga bukan pemeran utama, hanya peran pendukung, peran kecil, nggak akan menyita waktuku,” kata Aulia meminta pengertian Ryan.
“Nggak boleh!” Ryan kukuh pada pendiriannya. “Aku capek-capek mengantar dan menjemputmu syuting, sementara kamu bermesraan dengan cowok lain!”
“Kalau kamu nggak mau mengantar dan menjemputku, biar mama yang melakukan. Aku hanya minta kamu mendukungku, Ryan.”
“Nggak! Sekali nggak tetap nggak!”
“Ryan...”
“Sudah kubilang nggak boleh! Titik!”
Ryan menyalakan mesin Satria hitamnya, lalu tancap gas meninggalkan tempat parkir SMA Warga Negara. Aulia berdiri terpaku melihat Ryan pergi dengan egoismenya. Aulia melipat bibir, kecewa.
Kebimbangan menyergap hati Aulia. Apa yang harus Aulia lakukan, tetap ikut syuting atau tidak?
***
Di kursi kayu berukir di sebuah taman, malam hari, tampak Aulia duduk bersama seorang cowok cakep. Tak jauh dari mereka, seorang lelaki berkumis dan berambut gondrong memberi aba-aba.
“Kamera siap? Lighting siap? Monitor siap? Pemain siap? Satu, dua, ... action!”
Cowok cakep di kursi taman itu tersenyum, membelai rambut panjang Aulia. “Aku cinta kamu,” bisiknya.
“Sungguh?” sahut Aulia.
“Cut!” tiba-tiba lelaki berkumis berteriak, lalu mendekati Aulia.
“Apa lagi yang kamu lakukan? Kamu sedang menatap kekasihmu. Wajahmu harus bahagia, bukan tegang seperti melihat hantu. Kamu tahu beda bahagia dengan tegang nggak, sih? Ini take ke sepuluh, tapi kamu masih lakukan kesalahan yang sama!” bentak lelaki berkumis itu.
“Maafkan saya, Bang Martin,” ucap Aulia lalu menunduk.
“Ulangi sekali lagi! Kalau salah lagi, silakan kamu pergi. Masih banyak gadis cantik yang siap gantikan kamu!” kata lelaki berkumis.
“Bang, boleh saya bicara dengan Mama sebentar?” pinta Aulia memohon.
“Lima menit! Cepat!”
Setengah berlari Aulia menghampiri mama yang menunggu di bawah tenda kru. Aulia memeluk mama dan menangis.
“Lia mau mundur saja, Ma,” ucap Aulia disela isaknya.
“Sabar, Lia. Itu memang risiko kerjaan,” sahut mama menghibur.
“Lia ingat Ryan, Ma. Lia takut Ryan meninggalkan Lia. Itu yang membuat Lia nggak konsen, Ma.”
“Oh itu?” kata mama membelai rambut yang jatuh di kening Aulia. “Masih ingat saran Mama tempo hari? Lakukanlah atas nama cinta. Yakinkan hatimu bahwa di hatimu hanya ada Ryan, begitu pula di hati Ryan hanya ada kamu. Yakinkan hatimu bahwa sebenarnya Ryan bangga sama kamu, meski berbungkus cemburu.”
“Tapi, Ma ....”
“Kamu harus bisa, sayang. Mama yakin itu.”
Aulia menghela napas. “Doakan Lia ya, Ma?”
Mama mengangguk.
Aulia kembali ke kursi taman, kembali duduk berdua dengan cowok cakep tadi.
“Semua siap?” teriak lelaki berkumis itu, setelah Aulia kembali pada posisinya. “Action!”
Adegan yang berkali-kali salah itu pun di-take ulang. “Aku cinta kamu,” bisik si cowok cakep.
“Sungguh?” sahut Aulia dengan mata berbinar.
“Cut!” teriak lelaki berkumis. “Bagus! Itulah yang saya mau. Hei, kawan-kawan, tepuk tangan untuk bintang kita yang cantik ini!”
Wajah Aulia merona merah bahagia menerima tepuk tangan para kru. Aulia bergegas menghampiri mama.
“Lia bisa, Ma,” serunya gembira. Mama tersenyum.
Tiba-tiba sebuah suara membuat Aulia dan mama menoleh.
“Ryan?” ucap Aulia tertegun.
“Selamat, Lia,” Ryan meraih tangan Aulia. “Aku melihatmu dari jauh. Aku ingin menemuimu, tetapi aku malu.”
“Mengapa, Ryan? Aku senang bila kamu bisa menemaniku malam ini,” sahut Aulia tersenyum manis.
Mama mengerti keadaan, lalu menyingkir, masuk ke mobil.
“Maafkan aku, Lia. Nggak seharusnya aku bersikap kolokan. Aku hanya nggak ingin kehilangan kamu, Lia,” kata Ryan menatap lembut mata Aulia.
“Nggak akan, Ryan,” Aulia menggeleng. “Aku nggak akan meninggalkanmu. Sebaliknya, aku sungguh takut kamu akan meninggalkanmu, Ryan.”
“Itu nggak mungkin, Lia,” sahut Ryan. “Aku nggak akan meninggalkan merpati kecilku. Seharusnya aku mengantar merpati kecilku terbang menggapai impian.”
“Kamu membuatku ingin menangis, Ryan.”
“Aku sungguh sayang kamu, Lia.”
“Oh, Ryan.”
Aulia memejamkan mata ketika Ryan mendekapnya.
Di kejauhan, dari dalam mobil, mama tersenyum haru. Matanya berkaca-kaca melihat sepasang kekasih itu berhasil menyelesaikan satu dari sekian banyak permasalahan hidup.
***SELESAI***