Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Duuuaaar!!!”
Suara petir itu menggelegar hingga mematikan arus listrik. Gelap, hanya ada kilat petir yang menerangi rumahku.
Aku tertatih mencari lilin ke dapur. Genteng rumahku bocor, rambutku basah terkena air hujan.
Aku terus meraba seluruh tempat, Hingga akhirnya aku menemukan lilin itu di rak piring. Aku segera mengambilnya.
“Aw!” teiakku.
Seperti ada yang mencakar tanganku, aku segera mengambil lilin kemudian menyalakannya. Kulihat bekas cakaran itu dan ternyata kulitku berdarah. Aku segera pergi ke kamar.
Aku bercermin, kulihat rambutku basah lalu kusisir.
“Darah?” ucapku lirih.
Sosok bayangan putih seakan berlari di belakangku, aku segera menengoknya.
Lilinku mati. Sekarang benar-benar gelap.
Tok! Tok! Tok!
Aku kembali tertatih dalam kegelapan menuju ke pintu.
Perlahan kubuka pintu.
“Bruk!!!”
Aku terpental 2 meter dari pintu. Monster itu datang menerkam. Kakiku.
“Aaah!!” teriakku
Aku terbangun. Keringatku bercucuran. Kulihat sekeliling rumah, dengan lampu menyala terang. Kutarik nafas dalam-dalam. Kulihat tanganku, bekas cakaran itu nyta menggores punggung tanganku. Sedikit perih kurasa.
Kulihat secarik kertas di atas selimutku. Seperti biasa,
Kembalikan mataku!!!
Tulisan berwarna merah seperti darah yang masih segar itu terus menerorku. Sudah hari ke 7. Sejak aku tinggal di rumah ini.
Tok! Tok! Tok!
Aku kembali tercengang. Seluruh tubuhku merinnding kembali.
“Reisya, buka pintunya.”
Suara mamah setidaknya membuatku sedikit tenang. Aku pergi menuju pintu dan kubuka perlahan.
Kosong! Tak ada orang di sana. Nafasku kembali sesak. Takut setengah mati.
“Hahaha”
Aku segera membalikan badan.
Brak!
Pintu kamar tertutup. Aku segera membuka pintu namun nihil.
Aku melirikan mataku ke ranjang.
Terlihat seorang wanita cantik berambut panjang yang tertidur di sana. Tak lama seorang lelaki datang dan menghampirinya. Wanita itu terbangun.
“Ahhh! Tolong!” teriaknya kencang.
Wanita itu mencoba melarikan diri. Lalu lelaki itu mengajarnya, wanita itu dijambak dan kepalanya dihantamkan ke tembok hingga berdarah. Ia merintih kesakitan. Perlahan tangannya menuju sebuah meja, ia mengambil sebuah pisau kemudian ia mengangkat tangannya.
Lelaki itu menangkisnya dan segera ia rebut pisau dari tangan wanita itu.
“Cleeb!”
Pisau itu ditusukan ke mata wanita itu. Perih dan sakit rasanya.Rintihan kesakitan terus menggaung di telinga.
Ia terbangun dari tempat duduknya. Matanya terlepas, ia berjalan dan mendekat ke arahku. Darahnya berceceran di lantai.
“Jangan! Aku mohon. Pergi!” teriakku berulang-ulang.
Ia terus saja mendekat. Aku melihat sebuah pisau di meja. Aku tertatih dan mengambil pisau itu. Ia terus merintih dan meminta tolong. Mendekat dan semakin mendekat.
“Apa ini yang kamu inginkan?” kataku seraya memegang sebuah pisau.
Aku benci melihat keadaan ini, aku benci melihat dunia ini. Aku ingin menutup semuanya, menutup setiap kekerasan yang aku lihat di depan mata, tamparan, jambakan, pukulan atau apapun yang membuat hidupku muak.
“Aaaaah!” teriakku.
Perih dan sakit. Mataku berdarah.
Mataku tak kuat lagi menahan perihnyia kehiaa. Perlahan kututup mataku.
***
Bayangan itu kembali terlihat, ternyata penderitannya bukan hanya saat
Wanita itu tersenyum melihatku. Matanya tak lagi berdarah. Cantik sekali, bola matanya utuh.
“Terima kasih” katanya lembut.
Aku terbangun. Semuanya gelap.
Sepertinya ada selang infus yang mengikat tanganku.
“Indera ke enam tidak melihat dunia lain dari matanya, tetapi dari mata batinnya. Walau kamu buta. Mata batin kamu tidak buta. Jaga matamu baik-baik!”