Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kuperhatikan dari jarak sepuluh langkah, derapnya semakin melambat. Lengannya terangkat menutupi kedua telinga. Badannya semakin merapat ke dinding lorong. Oleng. Aku mempercepat langkah. Meraih kedua bahu gadis tersebut, mencegahnya jatuh.
“Berisik.” Ia mengulang kata yang sama dengan gemetar. Dapat kurasakan, tubuhnya juga gemetaran.
Aku menengok ke kanan kiri. Berharap ada yang dapat menjelaskan situasi apa yang sedang aku hadapi sekarang.
“Hayyin!” Seorang laki-laki memanggil dari kejauhan. Ia mendekat dengan berlari. Kemudian mengambil alih gadis tersebut dariku. Menumpuk telapak tangannya di tangan Hayyin yang menekan telinga. “Tarik napas panjang, Hayyin. Nah, bagus. Lagi. Bagus. Ya, seperti itu.”
Aku mundur selangkah. Memperhatikan cara Win menenangkan Hayyin. Ia tampak sudah berkali-kali menghadapi situasi ini.
Perlahan, Hayyin mulai tenang dan tampaknya sudah kembali ke kesadaran semula. Tidak lagi meracau “berisik” seperti sebelumnya.
Win memasangkan earpods ke telinga Hayyin. “Maaf, aku datang terlambat,” katanya. “Kamu juga enggak membawa penyumbat telinga. Tidak apa-apa. Aku di sini bersamamu.” Win menenangkan Hayyin dengan kata-katanya. “Terima kasih. Kamu menemani Hayyin saat aku tidak ada.” Win beralih menatapku.
Padahal aku tidak melakukan apapun dan hanya terdiam bingung. Sebagai laki-laki yang menyukai Hayyin, tindakanku sama sekali tidak pantas diapresiasi.
Win membantu Hayyin berdiri. Kemudian mengantarnya masuk kelas. Lantas keluar lagi menemuiku.
“Maaf, ya. Tadi kamu pasti kebingungan,” katanya.
Aku menggeleng pelan. Memang kebingungan, tapi itu sudah berganti dengan kelegaan sejak Win datang. Jadi tidak masalah.
“Hayyin itu spesial,” lanjutnya. “Ia membutuhkan perlakuan khusus seperti tadi. Oh, ya, kamu sekelas dengan Hayyin, kan?”
Aku mengangguk.
“Kamu juga sudah melihat caraku menangani Hayyin saat sedang kambuh. Kedepannya, jika aku tak ada dan kamu melihat Hayyin meracau seperti tadi, tolong bantu dia, ya?”
Aku mengangguk lagi.
“Sebenarnya, aku tidak enak padamu. Tapi sekalipun aku pacarnya, tetap saja tidak bisa terus-terusan ada untuknya. Manusia selalu memiliki batas dan serba terbatas.”
Aku terdiam lama. Lama sekali.