Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bangsa Asa adalah bangsa yang patuh. Saking patuhnya, bangsa Asa dikenal sebagai bangsa yang paling dekat dengan dewa, mereka dikaruniai pengetahuan yang luas dan sangat baik hati. Mereka tidak pernah meminta kekayaan atau pun kekuasaan, satu-satunya hal yang diminta oleh Bangsa Asa adalah kesabaran yang luas dan kemudahan mempelajari semua pengetahuan.
Kepatuhan dan rasa rendah diri bangsa itu akhirnya menarik perhatian banyak dewa, termasuk Dewa Pembalas Dendam. Dewa ini yang menyampaikan pada bangsa Asa bahwa para dewa sejujurnya punya satu tahapan lagi untuk membuat dunia menjadi tempat tinggal seluruh makhluk berbagai ras, namun jika mereka masuk ke tahapan itu, maka manusia tidak akan menjadi ras penguasa bumi.
“Manusia adalah satu-satunya makhluk yang berhasil berevolusi dengan baik ketika Bumi masih disempurnakan, bahkan terus berkembang dengan sangat baik hingga detik ini.” Para Leluhur Bangsa Asa mengangguk membenarkan, “Namun, sebagaimana makhluk yang mulai melampaui peradabannya sendiri, mereka perlahan melupakan siapa pemilik alam semesta sebelumnya.”
“Mereka jadi sangat arogan.” Dewa menghela napas. “Kami harusnya melakukan perubahan itu setelah 7000 tahun berlalu sejak berdirinya peradaban manusia modern, mengembalikan makhluk-makhluk yang dulu tinggal di sini dan membuat mereka bisa hidup berdampingan, membuat seluruh makhluk bisa leluasa bertemu dengan para Dewa selama mereka berhasil mencapai level tertentu.”
Bangsa Asa hanya mendengar, mereka merasa, itu bukan urusan mereka dan tidak seharusnya mereka mengetahui itu. Namun, para Dewa beranggapan bahwa Bangsa Asa bisa menjadi pemicu untuk perubahan dunia itu dan membantu manusia agar tak punah jika fase itu datang. Dewa memberikan Bangsa Asa keistimewaan karena sikap mereka yang patuh dan cinta damai, hal itu adalah kemampuan untuk memberikan tanda pada para dewa kapan manusia bisa bertahan dengan perubahan dunia yang segila itu.
Mereka diberi kemampuan untuk melakukan ritual pemanggilan dewa perubahan, dewa yang hanya muncul di dunia setiap 1000 tahun sekali.
Bangsa Asa, berjanji tidak pernah melakukan itu. Mereka berharap bisa menyebarkan pengetahuan mereka seluas mungkin, dan memperkaya semua kalangan.
Namun, manusia sangatlah tamak. Terlalu banyak rasa tamak yang tertanam di jiwa mereka hingga tak lagi mampu mengenal rasa berbagai, rasa kasih. Mereka akhirnya berjuang memperebutkan wilayah dengan peperangan.
Bangsa Asa adalah bangsa yang tak menyukai perang, hingga ia rela melakukan apa pun demi menghindari kekerasan. Mereka memberikan para cendekiawan terbaik mereka untuk mengatasi perang, mengirim pangan untuk dibagikan, hingga harta berharga untuk para negara yang membutuhkan.
Bangsa Asa menjadi bangsa yang sangat miskin dan kehilangan segalanya karena sikap lembut mereka. Pada tahun 2030, populasi bangsa Asa di dunia hanya tersisa kurang dari 1000 penduduk dan terus berkurang setiap harinya.
“Bagaimana bisa mereka tega membunuh sesama hanya karena perbedaan prinsip atau bahkan sebatas warna kulit?” keluh seseorang. Telinganya berdengung hebat, penglihatannya masih buram karena terpental menghindari bom dan kakinya tertimpa beton bangunan.
Perlahan, ia melirik sekitar. Seseorang mengangkat batu itu dari kakinya, membantunya berdiri. “Ayo bergerak.”
“Ke mana? Tidak ada tempat aman.”
“Ada lapangan luas di tengah kota.”
“Kita akan melakukannya?” Sosok itu mengangguk.
“Bangsa kita akan habis setelah ini,” lirihnya, lalu tersenyum. “Manusia telah sekuat ini, mereka pasti mampu bertahan melewati segala jenis perubahan itu. Entah kita telah memenuhi janji atau malah tak mampu menepatinya.”
Ia diletakkan tengah kota. Semua penduduk ada di sana. Mereka mengacungkan kelingking di depan dada, mengucapkan doa untuk terakhir kalinya, lalu ... sebuah bom mendarat di sana, menghabisi yang tersisa.
Bangsa Asa akhirnya memanggil Dewa Perubahan yang sejak seribu tahun lamanya menyaksikan perjuangan bangsa itu dan Tahap Perubahan Bumi pun, dimulai.