Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Menjelang magrib, Kardi dan Aden segera bersih-bersih usai mengebumikan Sapto yang dinyatakan meninggal di rumah sakit sekitar pukul empat sore. Padahal, sebelumnya Sapto tampak baik-baik saja. Bahkan, ia sempat membantu Kardi memasang gorden di pos tempatnya berjaga.
“Kok saya gak tau ya kalo Kang Sapto punya penyakit diabet?”
“Jangankan kamu yang baru, saya yang udah lama kerja bareng dia aja kecolongan, Den,” jawab Kardi terdengar menyesal. “Pantesan Sapto gak pernah mau buka perban tangannya di depan saya.”
Aden mengangguk-angguk paham. Semenjak kejadian tabrak lari yang membuat tangan Sapto terluka, Sapto menolak untuk dibawa ke puskesmas. Ia hanya membalutnya dengan perban seadanya, hingga menyebabkan infeksi. Menurut keterangan dokter yang ditemui Aden, ternyata penyakit diabetes yang diderita Sapto juga membuat infeksi di tangannya semakin memburuk.
“Bakal kangen kang Sapto jaga di luar sambil ‘ngebul’ ya, Kang,” ujar Aden sembari tertawa kecil, mengingat kebiasaan almarhum Sapto yang senang sekali merokok dan memainkan asapnya saat harus berjaga shift malam.
“Saya sih lebih kangen kopi buatan kamu, Den,” timpal Kardi sambil cengar-cengir memberi kode.
“Ah siap, Kang! Saya buatkan dulu.”
Aden beranjak menuju dapur, sementara Kardi menyandarkan punggungnya di kursi, merenggangkan otot-otot tangannya yang kaku setelah ikut menggali kubur Sapto. Dahi Kardi kemudian mengernyit, sesaat setelah ia mendengar suara benda yang diketuk beberapa kali.
Kardi yang semula mengabaikan suara tersebut, kini terduduk tegak. Terdengar semakin jelas dengan ritme yang semakin cepat. Dengan stok keberanian yang masih Kardi miliki, akhirnya ia memeriksa keadaan di luar pos jaga.
“Kenapa, Kang?” tanya Aden yang datang dengan dua cangkir kopi di tangannya.
“Ada yang ngetok jendela, Den.”
“Hayoloh, jangan-jangan itu Kang Sapto,” canda Aden dengan nada menakut-nakuti.
“Hus! Orang meninggal mah udah sibuk sama amalnya.”
Aden tertawa dan menenangkan Kardi dengan berasumsi bahwa itu hanyalah halusinasi. Keduanya kembali ke kursi sembari menikmati secangkir kopi masing-masing. Tidak lama, keduanya saling beradu pandang ketika mendengar ketukan yang kembali terdengar jelas.
“Denger, ‘kan?” tanya Kardi pada Aden yang kemudian dianggukinya. “Periksa, hayu!”
Kardi dan Aden dengan sigap keluar pos jaga, tetapi tidak ada apapun yang bisa mereka temukan. Tidak ada yang aneh dengan jendela pos bergorden itu. Namun, keduanya kembali tertegun saat ketukan kembali terdengar, sementara posisi keduanya masih di luar ruangan.
“Kang,” panggil Aden dengan mimik ketakutan.
“Dari dalem,” bisik Kardi memberitahu.
Kardi dan Aden segera masuk kembali ke dalam pos. Meskipun ketakutan menyelimuti seisi ruangan, Kardi tetap menyingkap gorden yang menutupi sebagian jendela dengan perlahan.
“Astagfirullah!” teriak keduanya.
Sepotong jari telunjuk yang membusuk tengah bergerak-gerak mengetuk jendela.
***