Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Tempat apa ini, Leah?” Aku bertanya pada seorang gadis berpakaian jagawana. Ia mengajakku ke bagian tersembunyi dalam hutan, ke daerah yang belum pernah kujamah seperti perjalanan harianku dari rumah dan sekolah. Aku adalah guru bagi anak-anak bertelanjang dada dan kaki.
Tinggal di pinggiran belantara kadang membawaku dalam sebuah petualangan, tetapi belum sampai sejauh ini. Di balik rimbunnya vegetasi, terbangun indah sebuah rumah pada sebatang besar angsana berusia belasan tahun. Kayu merahnya berbaur indah dengan hijau rimba, bagai sebutir mirah dibalut beledu. Menakjubkan.
“Kau menyukainya atau tidak?” Leah seolah menyundut bara di hatiku. Kupikir, sengaja untuk menghukumku.
“Apakah kau masih menyalahkanku atas kematian Hannah? Leah, kalian berdualah yang memaksaku dulu pergi. Mustahil bagiku memilih antara kau dan Hannah.”
Hannah amat menyukai rumah pohon. Teduh dan damai, katanya. Sama seperti aku menyukai gadis itu. Bagiku, Hannah adalah rumah pohon yang ingin kutinggali selamanya, sebelum Leah datang dan bersarang bagai benalu.
“Aku pun menyesal dan merindukan Hannah,” aku Leah menatap griya di hadapan kami dengan mata berkaca-kaca. “Aku ingat … Hannah pernah berpesan ingin melihatmu lagi. Ketika sakit, ia meminta makamnya ditanami dengan sebuah pohon, lalu dibuatkan sebuah rumah di atasnya. Agar jika suatu saat kau kembali, kau tahu ke mana harus mencarinya.”