Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Harga beras sedang tinggi-tingginya ketika aku dilahirkan, begitu kata Emak. Itu yang ia ingat di kepalanya tentang kelahiran aku –putri satu-satunya– dari suami yang kini sudah tak ada lagi di bumi ini.
Emak hidup dari baju-baju kusut dan kain-kain kotor yang minta dicuci-rapikan. Tak tahu kenapa, Emak sebagai anak “tengkulak” di kampungnya, memilih berangkat ke kota dan menjadi buruh pembilas.
Emak bilang, janganlah kau hidup menjadi jamur di sela kaki orang. Aku tak pernah tahu apa maksudnya.
Suatu hari, Emak membahas harga beras dengan pelanggan cuciannya.
“Harga beras sedang tinggi-tingginya, waktu si Sumi lahir,” umpatnya sambil mengacungkan telunjuknya ke langit. “Di kampung kami waktu itu, beras jadi barang mewah.”
“Bukannya kau ini anak saudagar beras? Tentu setiap hari, kau bisa melihat padi menghampar.”
Ia mendengkus. “Harga beras yang tinggi itu, seperti gatal-gatal di sela kaki. Mau digaruk salah, tak digaruk pun tetap salah.”
Pelanggannya tak banyak bicara. Ia membiarkan Emak melagu tentang harga beras yang tak pernah turun, hingga bapakku mangkat dari bumi ini.
Suatu hari, Emak mendapatkan order besar untuk menyetrika kaos-kaos yang dikenakan orang-orang berkampanye. Ia memanggilku.
“Hari ini kau bantu emakmu menyetrika, agar kita bisa makan nasi lagi. Sebakul untuk dua hari.”
“Bukannya harga beras sedang naik, Mak?” tanyaku.
“Aku membantu orang-orang yang bisa menurunkan harga beras.” Ia bertutur dengan kukuhnya. “Mereka orang-orang yang bisa kita percaya.”
“Menurunkan harga beras?”
“Mendatangkan beras untuk hari ini dan besoknya lagi. Tak peduli harganya naik sekalipun.”
Aku makin tak paham. “Gatal-gatal di sela kaki?”
“Bisa kita obati nanti,” kilahnya.
Betul saja, seminggu berturut-turut, emak tak mengeluh soal harga beras yang menjulang. Bahkan, tak lagi mengungkit hari-hari kelahiranku –saat harga beras naik di kampungnya.
Rasa penasaranku membuntang. “Tengkulak itu pekerjaan apa?”
Alis Emak yang tadinya rata, kini membeliut seperti ulat. Matanya memicing murka. “Darimana kau dapat kata-kata itu?”
“Setiap kali Emak bercerita tentang hari kelahiranku. Pelanggan kita selalu bilang, kan Emak anak tengkulak, mana bisa kesulitan beras?”
Emak diam. Lama sekali. Sampai besoknya tak pernah menjawab.
Hingga hari yang mengejutkan akhirnya datang. Emak mendapatkan order cuci setrika, kaos-kaos warna lainnya.
Aku mengintip persediaan beras kami di dapur, dan tergemap melihat seuncang beras di dalam lemari. Lantas kuhampiri Emak, yang sedang menggaruk telapak kakinya yang telanjang. “Gatal-gatal, Mak?”
Ia mengangguk. “Jamur air di sela kaki ini, sungguh bayaran yang luar biasa.”
“Kenapa kaosnya berbeda warna?”
Ia menggaruk-garuk jemari kakinya dengan langkas. “Warna jingga, bisa mendatangkan seuncang beras. Warna lainnya hanya sanggup mendatangkan beberapa genggam.”
“Bagaimana dengan kakimu yang gatal?”
“Sekujur tubuh gatal pun aku rela, kalau setiap hari seuncang beras jadi gantinya.”
“Bagimana kalau tak sembuh, Mak?”
Emak diam. Lalu kembali bercerita, harga beras sedang tinggi-tingginya ketika aku dilahirkan, sampai suaminya pergi dan tak pernah bernapas lagi. Sambil menemaniku, yang sibuk mencari arti “tengkulak” dalam buku-buku pelajaranku. Semoga setelah dewasa nanti, aku tak perlu bekerja seperti emak, hingga jamur air tumbuh di sela jari-jarinya.