Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Hari itu seperti biasa aku pergi ke pasar untuk membeli beberapa bahan makanan yang sudah habis. Keseharian seperti biasa yang selalu di lakukan, tidak ada beda sedikit pun dari hari – hari sebelumnya. Dan seperti biasa juga, saat aku akan berangkat menuju pasar ibu selalu berpesan
“Kalau semua urusan sudah selesai, cepat pulang dan jangan berbicara dengan siapa pun.” penculikan anak memang sedang marak di perbincangan. Bukan untuk diperjual belikan sebgai budak, tetapi untuk menambah persembahan kekayaan mereka. Hanya aku yang ibu punya, wajar saja ia sangat melindungiku.
Hari ini pasar lebih sepi dari biasanya. Beras, garam, gula, tepung semuanya sudah ku dapat. Mungkin karena hari ini pasar sepi jadi mereka meningkatkan harga penjualan, sayang sekali, padahal kalu masih ada sisa aku ingin membeli agar – agar manis. Ini lebih cepat dari biasanya, rasanya agak sia-sia kalau aku segera pulang ke rumah. Hanya dalam dua minggu sekali aku bisa meninggalkan rumah.
“Candala, katanya anak jenis itu lebih menguntungkan di banding dengan anak berparas menawan lainnya.” Terdengar suara nenek tua dari gerombolan para orang berada tidak jauh dariku. “Yang berwajah cantik dan tampan itu memang menguntungkan. Tapi candala, mereka menyerap semua sarinya. Bahkan untung dua kali lipat menjadi hanya omongan belaka jika memiliki mereka. Sepuluh ribu, tidak, bejuta – juta kali lipat lebih beruntung.” aku mendekati gerombolan orang itu. Jujur saja, siapa yang tidak penasaran dengan obrolan yang di bicarakan keras -keras seperti itu.
“Mana ada yang seperti itu,” Sanggah seorang Wanita paruh baya yang sedang menggendong bayinya. “Bukan kah sudah menjadi rahasia umum bahwa para cobit membawa kesialan. Mereka hanya anak pengganti, berani – beraninya membunuh yang asli.” ketus Wanita itu.
“Ma-maaf. Apa itu candala?” entah entitas mana yang sedang merasuki ku saat ini, tapi rasanya tubuhku sangat penasaran denga napa yang di bahas oleh mereka. Bahkan darahku di buat mendidih dan mengalir lebih cepat oleh rasa penasaran itu.
“Oh, kau anak si Wanita di kaki gunung, bukan?” Tanya pria tua yang berdiri di sebelahku. Badan besar, berkumis lebat, dan asap tembakau yang menyelimuti wajahnya jujur membuatku bergidik takut. Dengan terbata aku mengangguk.
“Kita sedang membahas makhluk hina. Nenek tua ini malah berkata bahwa makhluk hina itu adalah pendantang keberuntungan. Bodoh.” Satu lagi seorang Wanita paruh baya ikut mencaci nenek itu juga. Tidak ada yang mendengarkan perkataan nenek tua itu, gerombolan itu mulai berpencaran dan melanjutkan aktifitas mereka masing – masing. Meninggalkan di nenek tua dan aku.
Ia bejalan ke arahku sambil tersenyum. Semua yang aku rasakan saat ini, rasanya sangat buram. Ia berada di depanku tapi seperti tidak sedang di depanku, ia tersenyum ke arahku tapi rasanya hanya ada angin hampa yang berhembus ke arahku, ia memegang pundakku tapi rasanya seperti tubuhku di balut oleh semak berduri. Dan saat dia bertanya ke arahku,
“Kau, tertarik dengan kematian?” Nenek tua itu lenyap. Di depanku hanya ada jurang yang terlihat curam dan di bawah sana hanya ada kegelapan. Kaki ku terus melangkah maju, darah dalam tubuhku kembali mendidih dengan rasa penasaran. Entah rasa penasan yang mana ‘Apa yang ada di dalam jurang itu?’ atau ‘Bagaimana rasanya kematian?’