Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Drama
Rohaya dan Secangkir Sidikalang
27
Suka
4,076
Dibaca

Gemericik air hujan lungsur, membasahi helai demi helai daun yang bergoyang di hampar kebun belakang. Sederet pohon kembar delapan –setinggi dua meter– berdiri kokoh menantang hembusan hawa dingin. Wangi sangrai biji kopi menguar hingga ke kamarku, yang hanya disekat tirai kerang dari Pangandaran. 

Aku terbangun, desir liurku naik hingga kerongkongan. Haus.

Nini duduk bersila, kain batiknya tersingkap, mengumbar betisnya yang bergelembur. Nini sudah tak muda, tapi jiwanya penuh pembangkangan. Pada nasib, pada masalah hidup, serta anak cucunya yang seringkali tak beruntung. Nini berwatak keras, untuk itulah, kita –semua– berhutang jasa padanya.

“Karek hudang maneh?” (kamu baru bangun?) sapanya kasar. Begitulah cara Nini menyayang. 

Tangan kerimutnya mengepal cangkir kopi pekat, menyesapnya perlahan, aaah… Nini mendesah. “Ngeunah (enak),” bisiknya.

“Kopi apa, Ni?”

“Puntang,” pungkasnya. Ia bahkan tak menoleh. 

Aku meraih moka pot-ku, menjerang bubuk kopi sendiri dengan sedikit air. Berbeda dengan Nini, aku punya cara sendiri memanen kafein dalam darah.

Nanaonan maneh (Ngapain kamu), Ijem?” 

“Kirana, Ni.” 

“Ah, Ijem.” Ia mencomot sebutir hui boled. Mengupas, lantas melumatnya dengan lahap. Wajahnya datar, Nini begitu bandel memanggilku dengan nama kesayangan yang dipilihnya. 

“Ni… mau coba?” Aku menyodorkan kopi racikanku.

“Ngeunah kitu?” (enak gitu?)

Cobian weh.” (Cobain aja).

Embung, ah, teu ngeunah.” (Nggak mau, gak enak.)

Aku geleng-geleng. Menghirup wangi aroma yang menggelitik, menikmati hangat uapnya yang menyapu wajah. Sesap pertamaku pecah di lidah. Pahit; pekat; wangi rempah; berganduh jadi satu dengan liur di mulutku. Kopi adalah caraku menyapa pagi, sepahit apapun yang akan kulalui hari ini, kafein membuatku berani.

Nini menatap gerak-gerikku. “Kopi ti mana?” (Kopi dari mana?). Ia beringsut, menghirup aroma di cangkirku.

“Ini biji Sidikalang, kopi robusta,” paparku sambil menyodorkan sebungkus bubuk kopi dari lemari. “Coba deh, Ni. Di ujungnya, ada rasa coklat pecah di lidah.”

Nini tampak tertarik, tapi ia masih bergeming. Buatnya, kopi tanah priangan –dari kebun sendiri– tetaplah menjadi pilihan.

Bade nyobian?” (Mau coba?)

Ia menggeleng.

“Ni, biji kopi itu kalau dipadukan dengan alat modern, tentu kualitasnya jadi lebih mahal,” paparku. “Itulah kenapa petani kopi banyak yang nggak paham, dan menjual biji kopinya dengan murah.”

Nini mengibaskan tangan. “Mapatahan kolot maneh mah, Ijem!”  (Nasihatin orang tua, kamu Ijem!) Ia diam sejenak. “Cik, ngeunah teu?” (Sini, enak nggak?)

Aku tergelak. Mimiknya tampak lucu, bibirnya mengerut, bola matanya berkilat. Aku tahu saat Nini punya mau.

Bergegas aku jerang bubuk kopi dalam moka-pot, membuatkannya secangkir kopi pilihanku. 

Setelah tersaji di meja, aku melengos meninggalkan Nini. Membiarkan ia bercengkrama dengan wangi kopi barunya.

***

Harga sekarung beras naik lagi, begitu kata televisi. Aku sebagai warga kelas pekerja, tentu merasa kalut. Tapi tak begitu dengan Nini. Ia masih menggerakkan tangannya di atas wajan, mengaduk, dan memilah kayu bakar yang dirasanya lebih kering dari bilah kayu yang lain. Nini menyangrai biji kopinya hingga semerbak, mendinginkannya dalam kuali, lantas menggiling hingga halus. Memilahnya sukat demi sukat, untuk pelanggan yang mengetuk pintu dapur kami. 

Buatnya, mahal atau murah, mudah atau rumit, hidup tetap dijalankan dengan paripurna tanpa berkeluh dan mengumpat. Buat Nini, asal ada secangkir kopi, dan sepiring hui boled, hidup akan terasa mudah dan sederhana. Lihatlah aku, tumbuh sempurna sebagai manusia, lewat cara Nini berniaga.

Ijem, hayang kopi Kalang-Kalang.” (Ijem, mau kopi Kalang-Kalang). 

“Sakedap, Ni, ditinyuh heula.” (Sebentar Ni, diseduh dulu). Alih-alih menggunakan moka-pot, kali ini aku menyeduhnya ala Nini –menjerang biji kopi hasil kebun sendiri. Manual brew ala Rohaya.

Dari Jawa Barat hingga Sumatera Utara, Nini menikmati kopi dengan caranya, meredam lelah dengan cara yang begitu sederhana. 

Ia menyesap kopi panasnya perlahan seteguk demi seteguk, sambil menatap pohon kopi yang berderet sama tingginya, bersama kesiur angin dan gerimis pagi menjelang siang. 

Rohaya dan Sidikalang, kini bersahabat, melumerkan batasan-batasan geografis dan cara pandang kesukuan. Kopi adalah kopi, sebuah simbol perjuangan menghadapi kepahitan. 

 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
sama-sama :D hihihi transformasi kopi sepanjang hari ya kak. Mari lanjutkan ngopinya. :D :D
@verlitivana : ahahaha... makasih udah ngopi di sini. Samaaa, kopiku anyep, lalu diguyur susu dan es, lumayanlah siang-siang gini. Wkwkwk makasih udah dibaca yaaaa
Kaaaaak sedap banget ini ff nya wangi kopi. Jadi pengen ngopi panas lagi. Kopiku tadi pagi liberica dibuat panas tapi udah anyep, kujadikan es kopi.😆
@carsun18106 : Teeeeh "Cikahirupan"... what a word! Wkwkwkwk
@regzasajogur31 : Wah, senangnya diberi apresiasi oleh putra daerah :) Terima kasih, Bang. Baru aja kopi Sidikalang tambah krimer-nya habis barusan, memang luar biasa :D Salam kenal dari tanah pasundan.
Terima kasih sudah untuk kopi Sidikalang-nya, Mbak. Btw, saya asli dari Sidikalang. Kopinya memang tiada duanya. Hehehe
@rinafryanie : masyaa Allah Teh meni aya ku waas, al-fatihah kanggo Nini Teh Rina, mugia salawasna aya dina panangtayungan gusti nu maha welas asih :)
ingetan langsung kumalayang ka mangsa harita, jaman diungsikeun ka bumi aki-nini di Tasik, ngahaha sina diwuruk ngaji. Unggal subuh muru bubuy sampeu jeung boled ka pun aki, terus moro gegedoh kopi hideung pun nini. Ni'mat pisan. Sono ku seungitna. Al-Fatihah kanggo marantenna nu bagja di kelanggengan. aamiin
Sebagai sakadang manusa nu teu kuat nginum kopi, baca narasi sedetil ini asa ikut merasakan ni'mat na nyuruput cikopi, yg temen saya mah nyebutnya cikahirupan 😄😄
Rekomendasi dari Drama
Novel
Bronze
Melancholie
GRISZY
Flash
Rohaya dan Secangkir Sidikalang
Foggy F F
Cerpen
Diammu Bukan Emas
aksara_g.rain
Novel
Bronze
Jatuh Dari Langit
Joannes Rhino
Novel
Just A Moment
Naa Ruby
Skrip Film
The Golden Girls
Arief Rahman
Skrip Film
ALBIRU (skrip)
Ratna Arifian
Skrip Film
Kembali Ke Masa Muda
Eva yunita
Cerpen
Bronze
Tuah Kumis Tikus
Muram Batu
Novel
You, K
Racelis Iskandar
Skrip Film
Kepada Senja
fitriani
Cerpen
Mata Arit
Susanto
Novel
Acceptance
Daud Raja H. Sitorus
Komik
Adik-ku Sayang
nurdianti khairunisa fitri
Novel
Hari Kebalikan
Wina Anggraeni
Rekomendasi
Flash
Rohaya dan Secangkir Sidikalang
Foggy F F
Flash
Laju Lari
Foggy F F
Novel
Mantikei dan Sang Panglima Rangkong Gading
Foggy F F
Cerpen
Bronze
Milo dan Silo
Foggy F F
Cerpen
Bronze
Ohrwurm
Foggy F F
Cerpen
Bronze
Babi Ngepet
Foggy F F
Flash
Merindu di Safarwadi
Foggy F F
Cerpen
Jingga dan Pelangi di Manik Matanya
Foggy F F
Flash
Aku, Dirimu, dan Palung Mariana
Foggy F F
Cerpen
The Legacy
Foggy F F
Cerpen
Bronze
Cikgu Cleo
Foggy F F
Cerpen
Warteg Cinta
Foggy F F
Flash
Seuncang Beras
Foggy F F
Cerpen
Bronze
Pesawat Kertas
Foggy F F
Flash
Putra
Foggy F F