Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sungguh, Tuhan. Aku tidak tahu apa yang Engkau akan tulis untukku besok, outline bagaimana yang Engkau akan suguhkan kepadaku selanjutnya.
Tetapi jika boleh meminta, bisakah jangan Engkau membuatku menderita di beberapa bab ke depan hidupku?
Apakah aku bukan tokoh yang baik? Seorang pengarang biasanya akan sambil mengikik ketika menuliskan cara dia menyiksa karakternya. Apakah Engkau begitu pula? Lalu, apa Engkau menangis tersedu kala aku mengalami kesulitan sesuai apa yang Kau tulis?
Kuharap tidak. Kuharap pula aku tidak banyak mau, sehingga setidaknya Kau bisa sedikit menaruh rasa simpati kepadaku.
Kala esok hari menjemputku untuk bangkit dari tempat tidur, aku tidak mau selalu bersandar pada keburukan semata, lantas mencoba menjadi diriku alih-alih menyesuaikan diri.
Masih sama, ada saja kesal yang melapisi hariku. Namun, aku menyadari suatu hal ketika aku melihat lurus ke depan sana; tawa, senyum, dan segala hal membahagiakan orang-orang di pertengahan sore.
Bagaimana mereka bisa senyum secerah itu, padahal begitu melelahkan membawa beban pikiran? Aku menemukan jawabannya.
Meski Tuhan yang menulis banyak kisah manusia Bumi, Kau tetap membiarkan ciptaanmu memutuskan kehendak mereka; kehendak bahagia atau sedih, terus menderita atau bangkit secepat aku membuka mata kala alarm mulai memekik.
Pilihan selalu di tanganku, karena pemikiranku ada dalam kendaliku kendati tak memegang pena Tuhan.
Jadi aku melepas seluruh kesedihanku di belakang, menaruh bebanku sejenak, dan mulai memutuskan gembiraku. Bukan berarti aku tak boleh menangis, tapi aku takkan menyalahkan apa pun atau siapa pun, sebab aku bisa kembali memutuskan untuk tersenyum.
Demikian, Tuhan bebas merencanakan gambaran besar ceritaku dan menuliskannya tiap bab tanpa kesulitan akan rengekanku.