Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Hari ini adalah hari kemarin, mungkin juga hari esok. Aku hanya terbangun di saat matahari mulai benderang, menusuki pori-pori kulitku dari jendela kamar yang terdedah. Memang aku sengaja tidur diliputi angin malam. Aku hanya ingin merasakan aroma angin yang bergerak dari mana pun, mungkin saja itu dari pegunungan, sudah lama kutak melihat dekat awan-awan bertebaran. Mungkin saja itu dari lautan, sudah lama ku tak menelusuri ombak yang berdeburan.
Selepas bangun, aku menguap begitu lama. Jika uapku satu menit atau lebih, maka aku meringkuk lagi, kali ini kututup tirai jendela, agar aku tak kepanasan saat tidur, bisa saja membuat latar mimpiku berada di neraka. Namun jika uapku hanya sebentar setengah menit atau kurang, aku beranjak dari kasur, kusesar badan yang berat ini menuju dapur. Ada dua pilihan juga di tempat ini. Jika kucium aroma-aroma makanan yang menguar, aku membuka tudung saji, dengan terpaksa kucuci piring-piring makanku sehabis makan semalam, lalu dengan semangat kutonton acara TV yang membosankan.
Jika ibu lupa menyisakan makanan, aku kembali ke tempat tidur, memeriksa pesan masuk di handphone, lalu membuka pesan antar makanan. Sambil menunggu makanan datang, biasanya aku mengganjal perutku dengan sebungkus mie sampai aku tertidur, pulas hingga makanan yang kupesan habis oleh adikku yang hanya menyisakan bungkusan bergambar ayam. Sungguh, gambar ayam membuatku geram. Aku mengeram. Lagi, sampai kutunggu adzan dzuhur berkumandang menyadarkan telingaku dari dengungan mimpi-mimpi. Biasanya siang hari, ibu memasak begitu banyak karena dia lepas dari pekerjaannya di sekolah. Untung saja pekerjaan di masa sekarang ini dikerjakan dengan jeda waktu yang sedikit, maka aku bisa begitu juga dengan sedikitnya mencicipi masakan ibu.
Siang ini, ibu memasak mie. Bedanya, tidak memakai MSG, lalu diganti dengan garam. Ibu bilang MSG sangat tidak baik untuk tubuh. Sudah 10 bulan ibu menerapkan pola hidup sehat di rumah ini, tidak ada bahan-bahan buatan aditif, apalagi adiktif. Begitu juga ibu melarang keras ayah mengepulkan asap-asap dari mulut dan hidungnya. Tapi aku pernah lihat puntung rokok ada di lubang kloset, untung saja ku bersihkan dengan air bak, sebelum ibu yang memasuki wese.
Mengenai wese, sekarang sedang mampet. Mungkin saja karena banyak puntung rokok. Padahal aku mengalami tukak lambung, karena mie yang kumakan diam-diam tadi saat menunggu si ayam yang membuatku geram. Ditambah menu siang ini, ibu memasak mie garam. Sudah 50 puluh siukan, tetapi wese itu tetap mampet, malah si puntung-puntung rokok muncul ke permukaan. Sementara suara ibu begitu lantang terdengar, memaksaku untuk tidak berlama-lama di wese. Kata orang, wese itu tempatnya sarang setan. Sepertinya ayah yang kesetanan, berapa banyak puntung rokok yang dihabiskan, berapa banyak kebohongan ayah yang memfitnah kotak amal sebagai tempat beramalnya, demi alibinya menyulut rokok dan jongkok lama-lama di wese. Sialnya itu dilakukan saat ibu tertidur pulas sehabis menonton serial sinetron kesukaannya yang terkadang membuat mata dan hatinya lelah.
Ibu mengomel keras! Suaranya yang memekik membuat telingaku seketika tuli.
"Buka!! Jangan lama-lama di wese! Kamu lagi ngapain heh?"
Aku bimbang, aku benar-benar terisolasi di satu ruangan yang sempit dan bau ini. Dasar si ayah, mengapa aku menerima persekongkolannya hanya dengan sebatang rokok!!