Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kosdan membuka percakapan pertamanya penuh ragu dan kaku. Ia belum bisa mengerti kenapa di hadapan Tarmi kalimat pembuka yang telah ia susun dan hafalkan dengan susah payah itu runtuh. Mulut Kosdan hanya mampu mengucapkan 'hai, apa kabar?', setelah itu ia seperti berubah menjadi patung.
"Kenapa cuma diam, Bang?" Kata Tarmi mencoba mencairkan suasana setelah ia menunggu belasan menit pertanyaan selanjutnya dari Kosdan.
Kosdan tetap dalam diam. Ia menarik nafas dan mencoba menenangkan pikiran dan hatinya. Ia ingat suatu nasehat bahwa saat berhadapan dengan seorang perempuan yang harus dipandang adalah matanya. Hanya matanya. Kosdan segera menerapkan nasehat yang diingatnya itu dengan penuh hati-hati.
Setelah sempat menatap sekilas, Kosdan kembali menundukkan pandangannya dan itu membuat hatinya makin berdesir. "Nasehat yang keliru," kata Kosdan dalam hatinya.
Sebenarnya Kosdan lah yang keliru, sebab lima menit setelah pandangan yang ragu itu, Kosdan malah betah memandang dan menemukan kedamaian dari bola mata Tarmi hanya gara-gara seorang pelayan yang datang menawarkan menu masakan. Ia tiba-tiba melihat kedua bola mata Tarmi dan mulutnya seketika lancar menawarkan pesanan.
"Dik Tarmi mau pesan apa?"
Tarmi mengambil lembaran daftar menu dan mulai mencari-cari masakan kesukaannya. Sementara Kosdan sibuk memandang wajah Tarmi dengan suka cita. Apapun yang dipesan Tarmi, kata Kosdan dalam hati, dompetnya sudah siap membayar tunai.
"Nasi goreng sama es jeruk. Aku pesan itu, Bang." Kata Tarmi kemudian.
"Gak mau nambah cemilan, Dik?" Tanya Kosdan setelah mampu mengendalikan diri karena pandangan Tarmi yang jatuh seketika ke kedua bola matanya.
"Ndak, Bang. Itu sudah cukup."
"Idaman sekali," balas Kosdan sambil melebarkan senyum. Badan dan batinnya benar-benar telah ia kendalikan dengan baik saat ini.
Si pelayan tersenyum simpul mendengar godaan murahan itu.
"Biasa aja, Bang. Abang mau pesan apa?"
"Sama. Persis seperti pesananmu, Dik."
Si pelayan kembali tersenyum simpul mendengar kalimat yang sudah sangat sering ia dengar dari para pengunjung. Baginya, rata-rata lelaki macam itu dompetnya tipis.
Si pelayan segera pergi.
Kosdan merapikan posisi duduknya dan mulai lancar bertanya banyak hal pada Tarmi. Kegiatan sehari-hari, hobi, harapan masa depan dan segala hal yang bisa ditanyakan.
Ini memang pertemuan pertama mereka sejak bertunangan. Pertunangan ini terjadi lantaran kedua orang tua mereka merupakan teman dekat semasa kecil, lalu berpisah setelah sama-sama berkeluarga. Nasib mempertemukan kembali dua sahabat itu saat lebaran ketupat yang lalu ayah Kosdan berniat mengunjungi kampung masa kecilnya. Ia sudah sangat rindu dan ingin sekali melihat kemajuan-kemajuan di kampungnya: jembatan bambu yang kini dibeton, kali yang diperigi, sawah-sawah menyusut sebab pembangunan pemukiman yang kian padat dan pemakaman leluhur.
Kini, Kosdan dan Tarmi menjadi kunci agar hubungan pertemanan itu makin dekat.
Si pelayan datang membawa pesanan. Kosdan dan Tarmi siap menyantap dengan gembira. Suasana rumah makan malam itu tak terlalu ramai. Hanya ada tiga meja yang terisi. Jadi ketawa kecil mereka, obrolan panjang lebar mereka, tak mendapatkan perhatian apapun dari pengunjung di meja lain. Suasana makin syahdu sebab diiringi lagu-lagu musik 90-an dari pengeras suara yang terletak di pojokan.
Sambil menikmati hidangan, Kosdan masih sering menyela dengan pertanyaan-pertanyaan. Ia merasa telah mengenal Tarmi dalam sekali duduk. Segala pertanyaannya dijawab dengan jelas dan terperinci oleh Tarmi, lalu Tarmi membalik pertanyaan itu kepada Kosdan. Semua pertanyaan Tarmi dijawab dengan lancar oleh Kosdan.
Kosdan sampai di titik kehabisan bahan pertanyaan di tengah keakrabannya. Inilah yang belum sempat dipikirkan Kosdan. Ia merasa telah mengenal Tarmi begitu lama makanya sejak tadi ia berani menanyakan hal-hal konyol kepada Tarmi. Tetapi pertanyaan konyol sekalipun rasanya telah habis, sementara Tarmi cuma membalik pertanyaan.
Dan pertanyaan terakhir Kosdan yang akhirnya membuat makan malam itu menjadi canggung dan kembali kaku. Tarmi bahkan memutuskan beranjak dari tempat duduknya lalu meninggalkan nasi goreng yang tinggal sesendok saja. Pertanyaan konyol itu yang kemudian mejadi penyebab hubungan pertemanan kedua orang tuanya agak renggang.
"Dik, bapakmu berkumis, ya?" Tanya Kosdan yang kemudian ditanggapi dengan wajah cemberut Tarmi.
Kosdan menelan ludah. Ia sungguh-sungguh menyesal dan berjanji akan segera memperbaiki semuanya.