Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Rory berlari kencang. Napas memburu membuat dadanya sesak. Degup jantungnya menyentak tak beraturan. Sesekali ia berhenti, kepalanya menoleh bolak balik mengawasi ke sekitar lalu berlari lagi. Hanya ada pepohonan berbaris berjarak rapi dan bangku-bangku panjang yang membisu. Cahaya dari beberapa lampu taman tidak bisa mengurangi raut kelam malam ini.
Tidak ada tempat sembunyi! Mana mungkin ada yang bisa sembunyi di sini! Batin Rory mengumpat. Kenapa ia malah ke tempat terbuka seperti ini. Gadis itu terdiam sejenak dengan mata terpejam, berusaha mengabaikan keruwetan dalam kepala. Terdengar suara tarikan napas panjang, menyusul kemudian suara hembusan berat dari mulutnya.
Kedua kelopak mata Rory membuka. Tubuhnya berputar perlahan searah jarum jam. Sorot mata gadis itu memindai cahaya termaram dan kegelapan di depan secara bergantian seiring gerakan tubuh. Ya! Ke sana! Gerakan tubuh Rory berhenti ke arah pemakaman tua dekat tebing tepi laut. Ia tahu, batu nisan di sana berukuran cukup tinggi dan lebar. Ada beberapa ruang makam bawah tanah juga. Pastilah cocok sekali untuk tempat sembunyi. Jadilah kedua kaki gadis itu kembali berlari ke arah yang dimaksudkan pikirannya.
Setibanya di pemakaman tua, Rory menyusuri barisan batu nisan yang lebih tinggi dari kepalanya dan juga lebih lebar dari tubuhnya. Hanya ada cahaya bulan berwarna kebiruan menerangi area makam. Sepi dan mencekam bisa ia rasakan. Beberapa kali gadis itu menggoyangkan kunci gembok pintu ruang makam bawah tanah yang dilewati. Tapi gembok-gembok tersebut masih rapat mengunci walaupun karat sudah menutupi permukaannya.
Setelah banyak barisan ia lewati, pikirannya kembali semrawut. Ia tidak boleh tertangkap lebih dulu. Bisa tambah runyam nanti. Tidak! Kepala Rory menggeleng kuat-kuat. Dengan tekad bulat, Rory kembali dengan hati-hati menyusuri barisan nisan.
Tak berapa lama, tatapan Rory berhenti pada sosok seorang gadis yang sedang berjongkok di ujung barisan makam. Posisi gadis tersebut membelakanginya, melihat ke arah yang salah. Kaki Rory menapak cepat tanpa suara. Ia melihat gadis tadi menggenggam sebuah potongan kayu cukup besar.
Ujung mata Rory menangkap sebuah vas bunga bulat dari semen berukuran sedang di dekat kaki. Sepertinya cukup tebal. Tangannya mengambil vas tersebut dan secepat kilat dengan kekuatan maksimal yang bisa dikeluarkan, ia ayunkan vas ke kepala gadis yang berjongkok tadi.
Gadis tadi langsung ambruk. Batang kayu yang dipegang terlempar dari genggamannya. Satu tangannya berusaha menyeret diri menjauh dari Rory. Sementara satu tangan lagi menangkup luka di kepala.
“Mau ke mana?” suara dingin dan datar terdengar dari mulut Rory. Seringai bagai serigala terpampang di wajahnya. Sorot mata Rory berkilat tajam penuh antusias menatap mangsa di hadapan. Tubuhnya tampak menjulang tinggi dengan raut wajah yang kelam dan dingin.
Gadis kurus dengan rambut kemerahan acak-acakan yang sekarang bertambah merah karena dihiasi darahnya sendiri tadi, makin mengkerut. Ia seolah memeluk diri sendiri yang tidak berdaya. Tubuhnya bergetar ketakutan. Air mata tak henti mengalir dari sorot mata piasnya. “A-aku tak akan mengadu lagi. Ma-maaf, aku… tak akan mengadu…” gadis tadi mencicit serak. Hampir seperti gumaman tak jelas.
Sementara Rory, tubuhnya juga gemetar menahan luapan kemenangan. Degup jantung berkejaran di dada seolah menabuh genderang perayaan untuknya. “Maaf katamu?” tegas Rory. Ia mengambil batang kayu yang dibawa gadis tadi. “Tapi sayangnya, aku tidak percaya dengan orang yang masih hidup. Orang hidup tidak bisa menyimpan rahasia dengan baik. Kau, contohnya.”
Tanpa menunggu sepatah kata keluar lagi, Rory mengayunkan keras-keras batang kayu di genggamannya ke kepala gadis tadi berulang-ulang. Terdengar bunyi berderak aneh seiring permukaan batang kayu yang menggempur kepala gadis tadi. Setelah korbannya tak bergerak, Rory menyeret kaki gadis tadi menuju ke pinggir tebing yang mengarah ke laut.