Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
/1/
Tabik! Namaku Jana dan mereka Rajendra, Nugraha, Bhanu, dan Wira. Kami adalah murid seangkatan di Sanggar Seni Indonesia Raya milik pak Basuki. Diantara kami berlima Wiralah yang lukisanya paling bagus dan rapi.
Pak Basuki, iya dia, yang menginspirasi sekaligus melatih kami melukis. Lukisan Pak Basuki tak pernah gagal membuat kami terpukau. Tiap mata dalam lukisannya menatap tajam. Nyata. Realism.
/2/
Tinggal di negara yang belum lama merdeka. Terlebih lagi di Yogya yang kini menjadi ibu kota, membuat kami terbiasa dengan situasi yang belum sepenuhnya damai.
"Bhanu! Dari mana?" tanyaku.
"Tuuu, dari tempat latihan tentara," Ia menunjuk sebuah arah.
"Kamu ikut latihan menembak?"
"Inginnya begitu, tapi senapan itu sangat berat. Aku terpental saat mencobanya."
"Lah, terus kamu ngapain di sana?" tanyaku lagi, setengah mati aku menahan tawa.
"Antar barang," jawabnya singkat.
"Owalah, jadi kurir toh," kataku sambil menahan pipi yang pegal menahan tawa.
"Hmm, tapi aku bosan, jadi Aku melukis di sana, lihat ini!" Bhanu menunjukan beberapa lukisan pemandangan.
/3/
Hari Minggu, masih pagi, bahkan matahari belum naik sempurna. Pak Basuki sudah mengumpulkan kami di sanggar.
"Nak, Saya punya misi untuk kalian."
"Misi?" tanyaku.
"Yaa...misi. Belanda kembali, mereka telah menguasai Maguwo. Sekarang mereka mengincar Gedung Agung."
"Seranggg!!!..." teriak Bhanu.
"Stttt.... bukan, saya minta kalian melukis apa yang terjadi, lukis apa pun. Kita dokumentasikan peristiwa ini. Mengerti?"
"Ngerti pak," jawab Rajendra.
"Baiklah kalau begitu, tetap waspada dan hati-hati," sambung Pak Basuki.
/4/
Aku segera mengambil kotak yang serupa milik penjaja rokok. lengkap dengan tali selemppang. Tak kurang selusin bungkus rokok ada dalam kotak ini. Aku potong-potong kertas seukuran kartu pos. Kuas dan beberapa kaleng cat minyak. Apa lagi? oh jangan lupa, keberanianku. Semuanya Aku simpan dibalik sebuah papan dalam kotak rokok itu. Andai-andai tentara Belanda melihatku, aku hanyalah seorang anak penjaja rokok. Penjaja rokok bukanlah hal berbahaya bagi mereka bukan?
Sampai di pusat kota, sudah banyak tentara Belanda, dari yang kulitnya putih terang hingga gelap sepertiku. Ada yang naik tank hingga berjalan dalam barisan di sisi jalan. Yang jelas mereka semua berseragam, lengkap dengan senjata api dan helm.
/5/
Warga kota dikumpulkan. Mereka dikepung tentara bersenjata. Ledakan peluru tak ada hentinya. Terus saja, seperti letupan berondong jagung di dalam kuali. Deru mesin pesawat di angkasa kadang jelas tak jarang juga samar. Burung besi itu meledakan apa-apa yang ada di bawahnya.
Diam-diam. Tenang dan waspada. Dengan cepat aku lukis apa yang ada dihadapanku. Maka satu per satu kertas yang kubawa tertutupi warna.
/6/
Hari berikutnya. Samar-samar aku mencium bau mesiu yang semakin jelas menyengat. Semakin banyak tentara Belanda, semakin banyak juga korban dari TNI atau pun rakyat biasa.
Sebenarnya aku kurang paham apa yang sebenarnya sedang terjadi di sana. Aku hanya melukis apa yang aku lihat. Aku saksikan. Suasana mencekam. Kekacauan dan perang.
Deret panjang mobil jeep melintas. Cepat kuraih cat warna hijau dan mulai melukisnya. Diantara penumpang jeep itu tak salah lagi, dia Soekarno. Presiden Republik dan beberapa petinggi. Apa maksudnya? Apa mungkin Indonesia telah kalah? Kemana mereka membawanya pergi?
/7/
Malam Ini kota perlahan sepi. Tentara Belanda perlahan meninggalkan Yogya. Yang tersisa ongokan tubuh-tubuh yang ditingalkan jiwanya, rongsokan, reruntuhan, dan tangis korban perang.
Aku bergegas ke sanggar, hanya ada Rajendra, dan Bhanu di sana.
"Jan, Nugraha tertangkap Belanda," Bhanu berbisik padaku.
"Hah...? Lalu Wira? Apa belum kembali?"
"Wira tak ada di tempatnya sembunyi, Jan," kata Rajendra yang tadi pergi bersama Wira.
/8/
Kami telah melukis. Mendokumentasikan secara langsung, dengan mata dan tangan kami sendiri. Apa yang terjadi di Yogya dua hari ini. Sayangnya, nasib baik belum berada di dua teman kami.
Bagi kami ini bukan sakadar penugasan seni lukis. Bukan pula menjadi beban atau paksaan. Tapi ini adalah perjuangan. Perjuangan mempertahankan tanah merdeka dari mereka yang tak mau menerima takdir Bangsa Indonesia.